Bali, Warta Global. id
Organisasi kemasyarakatan (ormas) memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan bangsa Indonesia. Bermula sebagai wadah perjuangan rakyat melawan kolonialisme, ormas berkembang menjadi entitas sosial-politik yang kompleks. Dalam konteks kekinian, ormas tidak hanya berperan sebagai representasi masyarakat sipil, tetapi juga kerap dipakai sebagai alat oleh berbagai kekuatan, mulai dari negara, militer, hingga oligarki dan jaringan mafia. Polemik terbaru antara kelompok jenderal purnawirawan TNI AD dengan ormas GRIB menjadi cermin dari dinamika yang telah lama tumbuh dalam tubuh bangsa ini.
I. Linimasa Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Ormas di Indonesia
1. 1908 - Budi Utomo: Ormas modern pertama, lahir dari kalangan priyayi Jawa sebagai respons terhadap stagnasi sosial-politik kolonial.
2. 1912 - Sarekat Islam: Muncul sebagai kekuatan massa yang menghimpun kaum pedagang dan buruh pribumi, berperan penting dalam pergerakan nasional.
3. 1927 - Partai Nasional Indonesia (PNI): Walau berbentuk partai, memiliki basis massa seperti ormas dan berorientasi pada pembebasan nasional.
4. 1945-1965 - Masa Revolusi dan Orde Lama: Banyak ormas terbentuk untuk mendukung revolusi dan pembangunan awal. Namun mulai digunakan oleh partai-partai politik dan militer sebagai alat mobilisasi.
5. 1966-1998 - Orde Baru: Pemerintah membina, mengontrol, bahkan membentuk ormas sebagai underbow kekuasaan (misalnya, FKPPI, Pemuda Pancasila). Fungsi ormas sebagai alat kontrol sosial dan keamanan non-formal menguat.
6. 1998-sekarang - Reformasi dan Fragmentasi Ormas: Liberalisasi politik pasca-reformasi memungkinkan lahirnya ribuan ormas dengan beragam agenda, dari yang idealis sampai pragmatis, termasuk yang dimanfaatkan oleh aparat dan oligarki.
II. Analisis Historis, Politik, dan Kekuasaan
Secara historis, ormas lahir dari kebutuhan masyarakat untuk bersatu dan memperjuangkan nasibnya. Namun seiring waktu, logika kekuasaan mulai menyusupi ormas. Dalam konteks politik, ormas menjadi alat mobilisasi massa, penjaga status quo, bahkan aktor kekerasan sipil. Negara (melalui aparat keamanan dan intelijen) menggunakan ormas sebagai saluran kontrol sosial dan pengendalian potensi ancaman, dengan membina kelompok-kelompok massa agar tidak menjadi oposisi radikal.
III. Perspektif Pertahanan, Keamanan, dan Intelijen
Dari perspektif keamanan dan intelijen, pembentukan ormas dijadikan sarana untuk "mengikat" elemen-elemen rawan konflik. Ormas digunakan sebagai kanal pembinaan potensi ancaman (soft containment), sekaligus bisa dijadikan alat pemukul terhadap lawan politik atau kelompok masyarakat yang dianggap berseberangan. Dalam berbagai operasi kontra-subversif, ormas dimanfaatkan sebagai jaringan informan, pelaksana tugas penggertakan, atau bahkan alat pengalihan isu yang melibatkan konflik horizontal.
Pola "membina potensi ancaman" ini telah berlangsung sejak Orde Baru, ketika aparat intelijen mengklasifikasi masyarakat dalam kelompok binaan. Dalam hal ini, ormas dijadikan "kandang kambing"—wadah bagi unsur-unsur yang tidak bisa dihilangkan namun perlu dikontrol. Dalam krisis sosial, mereka bisa digerakkan untuk tujuan stabilitas semu atau bahkan menjadi pelaku represi terhadap aktivisme sipil.
IV. Ormas dan Oligarki Ekonomi serta Mafia
Dalam praktiknya, banyak ormas digunakan oleh oligarki ekonomi dan mafia, terutama di sektor:
Pertanahan: Ormas digunakan sebagai pelobi atau pelindung mafia tanah, terlibat dalam intimidasi atau negosiasi penggusuran paksa.
Perkebunan dan Pertambangan: Dalam banyak kasus, ormas bertindak sebagai pelindung korporasi atau konsesi ilegal, melawan masyarakat adat atau LSM lingkungan.
Perumahan dan Infrastruktur: Ormas menjadi semacam "pengawal proyek" yang bertugas mengamankan proses pembangunan, menyelesaikan resistensi warga secara informal.
Di wilayah konflik sumber daya, ormas kerap berada di garis depan sebagai pihak yang mengklaim membela rakyat namun justru menjadi perpanjangan tangan pengusaha hitam atau pemilik modal.
Kasus GRIB dan Polemik Jenderal Purnawirawan GRIB (Gerakan Rakyat Indonesia Baru) memiliki karakteristik yang khas sebagai ormas berbasis kekuatan jalanan dan berlatar belakang militeristik-sipil. Didirikan oleh tokoh kontroversial seperti Hercules, ormas ini merepresentasikan transformasi dari kekuatan informal (premanisme, jaringan ekonomi gelap) ke dalam ruang legal organisasi kemasyarakatan.
IV. Polemik dengan kelompok jenderal purnawirawan
TNI AD mengungkap adanya konflik tafsir dan klaim atas hak monopoli menjaga stabilitas nasional. Para purnawirawan menilai GRIB melampaui batas peran ormas dengan menunjukkan sikap premanistik dalam wacana politik sipil.
Analisis: Siapa yang Memanfaatkan GRIB? Ada beberapa kemungkinan kekuatan di balik GRIB:
1. Rezim Saat Ini (secara langsung atau tidak langsung):
GRIB dapat digunakan sebagai alat kontrol sosial informal untuk menangkal lawan politik atau membangun basis loyalitas massa di level akar rumput.
Bukti empiris belum cukup kuat menunjukkan bahwa GRIB adalah alat formal negara, namun indikasi pembiaran atau pembinaan pasif patut dicurigai.
2. Kelompok Militer-Sipil Lama dan Oligarki Ekonomi:
GRIB lebih mungkin merupakan warisan jaringan informal lama yang kini digunakan kembali untuk menjaga kepentingan bisnis dan politik tertentu.
Hubungan personal tokoh-tokoh GRIB dengan elite pengusaha dan bekas aparat memperkuat dugaan ini.
3. Kelompok Tertentu dalam Struktur Negara (Fraksi dalam Aparat):
Tidak seluruh aparat negara bersikap tunggal. Ada faksi yang memanfaatkan GRIB untuk menjaga pengaruh dalam kontestasi internal negara (militer vs sipil, atau antar aparat).
V. Kesimpulan dan Pandangan Kritis
Dari berbagai analisis di atas, GRIB tampaknya lebih merepresentasikan ormas yang dimanfaatkan oleh kekuatan hibrida: antara jejaring oligarki, sisa-sisa kekuasaan Orde Baru, dan sebagian elemen negara yang belum sepenuhnya demokratis. Rezim hari ini mungkin tidak secara eksplisit mendukung GRIB, namun keberadaan dan ruang geraknya menunjukkan adanya pembiaran sistemik.
Ormas di Indonesia, dalam sejarah dan praktik kontemporer, telah bergeser dari fungsi idealnya sebagai agen perubahan sosial menjadi alat kekuasaan, kontrol sosial, bahkan represi sipil. Reformasi kelembagaan yang menyentuh akar legalitas, fungsi, dan pembinaan ormas harus menjadi agenda prioritas jika Indonesia ingin benar-benar memajukan demokrasi dan keadilan sosial.
Sumber :
Adolf Hilter Rangkuti
KALI DIBACA