Bali Warta Global. Id
Senin (21//2025). Jika diingat kembali proses tercetusnya emansipasi wanita melalui beberapa sejarah panjang dan melibatkan perbagai faktor sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dari zaman pra-modern, peranan tradisional wanita pada zaman dahulu, seperti: mengurus rumah tangga, membesarkan anak, dan bergantung sepenuhnya kepada kaum pria dari segi keuangan dan hak. Dalam masyarakat, wanita tidak dibenarkan belajar, bekerja, atau membuat keputusan penting.
Ketika masuk pada zaman pencerahan (abad ke-17-ke-18), gerakan intelektual di Eropa mula memperjuangkan hak asasi manusia, rasionaliti, dan kebebasan individu. Tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft mula menulis tentang hak wanita, termasuk hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam bermasyarakat. Saat masuk pada masa revolusi industri (abad ke-18 - ke-19), Wanita mulai keluar bekerja di industri karena permintaan buruh meningkat. Ini membuka peluang untuk wanita menyumbang kepada ekonomi dan menunjukkan kebolehan di luar rumah tangga. Namun, wanita masih tidak diberi hak yang sama seperti kaum pria, dari segi gaji, penegakan hukum, dan politik.
Gerakan suffragette (akhir abad ke-19-awal abad ke-20),gerakan ini memperjuangkan hak mengundi bagi wanita, terutamanya di negara-negara Barat. Aktivis seperti Emmeline Pankhurst di UK dan Susan B. Anthony di AS menjadi simbol perjuangan ini. Hasilnya, beberapa negara mula memberi hak mengundi kepada wanita. Selanjutnya masuk pada perang dunia pertama dan kedua, ketika kaum pria berperang, wanita mengambil alih berbagai pekerjaan kritikal. Ini membuktikan kemampuan wanita dan memperkuatkan kedudukan wanita, dimana wanita juga layak mendapat hak yang sama.
Dan di saat gelombang feminisme (abad ke-20), muncul melalui tiga gelombang. Feminisme gelombang pertama: fokus kepada hak undi dan hak undang-undang, feminisme gelombang kedua (1960-an-1980-an): perjuangan untuk kesamaan hak dalam pekerjaan, pendidikan, dan hak hidup. Feminisme gelombang ketiga dan keempat: menyentuh isu-isu seperti diskriminasi, identitas, hak asasi wanita secara global, dan memperjuangkan kesejajaran dalam berbagai aspek kehidupan.
Dan pada saat ini, kesan emansipasi wanita telah mencapai banyak kejayaan dalam politik, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Namun, perjuangan masih belum selesai, terutamanya di negara-negara yang masih berpegang kepada norma tradisional yang membataskan peranan wanita.
Semua itu berkat seorang tokoh wanita, Raden Ajeng Kartini atau lebih dikenal sebagai RA Kartini, beliau adalah seorang tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dan berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Kartini dikenal karena pemikirannya yang progresif tentang pendidikan dan hak-hak perempuan pada masa itu, ketika perempuan Indonesia khususnya dari kalangan priyayi sering dibatasi ruang geraknya, termasuk dalam hal pendidikan. RA. Kartini semasa hidupnya banyak menulis surat kepada sahabat penanya di Belanda, mengungkapkan keinginannya agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang setara.
Setelah Kartini wafat pada usia 25 tahun, (17 September 1904) kumpulan surat-suratnya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang". Buku ini menjadi sumber inspirasi dan simbol perjuangan kaum perempuan Indonesia. Hari kelahirannya, 21 April kemudian diperingati sebagai “Hari Kartini”, untuk mengenang jasa-jasanya dalam memperjuangkan kesetaraan dan hak perempuan di Indonesia.
Bila kita mengingat kembali, RA. Kartini memiliki beberapa peran yang menonjol, diantaranya: (1) pelopor emansipasi wanita. Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Pada masanya, perempuan pribumi sangat
dibatasi dalam hal pendidikan dan kebebasan berekspresi. (2) Pemikiran progresif dalam surat-suratnya, Kartini menuliskan gagasan-gagasannya dalam bentuk surat kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda. Surat-surat itu kemudian dibukukan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang berisi pandangan kritisnya terhadap ketidakadilan gender dan sistem feodal di Jawa. (3) Mendirikan sekolah untuk Perempuan. Kartini mendirikan sekolah untuk anak perempuan pribumi di Jepara. Ini menjadi langkah konkret dalam memperjuangkan akses pendidikan bagi perempuan, yang sebelumnya sangat terbatas. (4) Menginspirasi gerakan perempuan selanjutnya, Gagasan Kartini menjadi inspirasi bagi banyak tokoh dan gerakan perempuan di Indonesia setelah kemerdekaan, seperti organisasi wanita Ibu Soekarno, hingga terbentuknya Hari Kartini setiap 21 April sebagai bentuk penghormatan terhadap jasanya. Kartini tidak hanya memperjuangkan pendidikan, tetapi juga kebebasan berpikir, kebebasan memilih, dan keadilan sosial bagi perempuan Indonesia.
Dalam dinamika sosial modern, isu kesetaraan gender menjadi topik yang semakin penting dan relevan. Emansipasi wanita tidak lagi sekadar perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dasar, tetapi juga merupakan bagian dari upaya menciptakan masyarakat yang inklusif, adil, dan harmonis. Namun, sering kali emansipasi disalahartikan sebagai upaya untuk “menyaingi” kaum pria. Padahal, esensi sejati dari emansipasi bukanlah kompetisi, melainkan kolaborasi. Emansipasi: menyelaraskan peran, bukan menggeser posisi. Perjuangan emansipasi wanita tidak bertujuan untuk menggantikan dominasi kaum pria dengan dominasi wanita, melainkan untuk menyamakan kedudukan dalam kontribusi terhadap kehidupan, baik di rumah tangga, dunia kerja, pendidikan, hingga kepemimpinan. Ketika perempuan diberi kesempatan yang sama untuk berkembang, kita menciptakan ruang kolaboratif di mana potensi setiap individu terlepas dari gendernya dapat dimaksimalkan.
Kolaborasi gender kunci keharmonisan. Dalam setiap bidang kehidupan, keberhasilan sering kali lahir dari kerja sama yang sinergis. Kaum pria dan kaum wanita memiliki cara berpikir, pendekatan, dan kepekaan yang berbeda namun saling melengkapi. Dalam dunia kerja, misalnya, perusahaan yang mempromosikan keberagaman gender terbukti lebih inovatif, adaptif, dan memiliki performa yang lebih baik. Kolaborasi antara gender menciptakan harmoni dalam pengambilan keputusan, manajemen konflik, hingga proses kreatif. Tidak ada dominasi satu pihak, melainkan ada ruang bagi semua suara untuk didengar dan dipertimbangkan.
Pendidikan dan peran keluarga, untuk membentuk generasi yang memahami pentingnya kolaborasi gender, pendidikan sejak dini sangatlah penting. Anak laki-laki dan perempuan perlu dididik untuk saling menghargai, bekerja sama, dan membangun empati. Keluarga berperan sebagai wadah pertama dalam menanamkan nilai-nilai tersebut, dimana anak menyaksikan contoh nyata kerja sama antara ayah dan ibu dalam membangun rumah tangga yang setara.
Menuju kesuksesan bersama. Kesuksesan sejati bukanlah tentang siapa yang lebih unggul, tetapi tentang bagaimana semua orang dapat tumbuh bersama dan berkontribusi untuk kebaikan bersama. Di dunia politik, bisnis, seni, maupun pendidikan, kolaborasi antara pria dan wanita telah melahirkan banyak inovasi, solusi, dan perubahan sosial yang positif. Dengan semangat emansipasi yang benar yang menekankan pada kemitraan, bukan persaingan. Kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan maju.
Sumber :
Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih.,S.IP.,M.AP
(Akademisi Universitas Warmadewa)
KALI DIBACA