Bunuh Diri Di Pulau Sorga* Tanda Tanya Besar - WARTA GLOBAL BALI

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

Bunuh Diri Di Pulau Sorga* Tanda Tanya Besar

Thursday, 10 April 2025


WartaGlobalBali. Id
Denpasar, 11 April 2025
Apa yang lebih menyedihkan dari hidup di tempat yang disebut-sebut “surga”, tapi cerita bunuh diri seakan tak pernah habis. 

Tidak buruh, tidak pula pengusaha, pegawai, polisi juga diberitakan bunuh diri di Bali.

Bali, pulau para dewa. Jepang, negeri sakura. Dua tempat yang menjadi impian banyak orang. Tapi Bali mencatat kasus bunuh diri tertinggi di Indonesia. Jepang, sejak lama sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia.

Jika ditanya kepada psikiater, jawabannya sama: stres. 

Jawaban itu terdengar sederhana, tapi menyimpan luka yang dalam. Sebab yang menjadi pertanyaan bukan hanya “mengapa mereka mati?”, melainkan: mengapa mereka yang tinggal di tempat seindah Baki dan Jepang bisa begitu tersiksa hingga memilih mati?

Di sinilah paradoks menjadi nyata. Di Bali, izin kantor bukan untuk istirahat, tapi untuk menunaikan kewajiban adat. Waktu tersita. Uang mengalir keluar tanpa jeda.

Di kantor, ditekan target. Tidak masuk kerja centang merah. Di rumah, ditekan biaya. Desa adat tak mengenal batas kemampuan ekonomi: kaya ataupun miskin, patuh, semua harus ikut dalam upacara. Yang kaya kehilangan waktu. Yang miskin, kehilangan beras.

Upacara demi upacara. Rainan demi rainan. Penuh makna secara spiritual, namun secara praktis—melelahkan, menyita, menekan.

Itu fenomena di Bali, di Jepang, tekanan hadir barangkali dalam bentuk berbeda: kesempurnaan yang mematikan. Kedisiplinan yang membungkam. Kesendirian yang tidak terlihat.

Mungkin, baik di Bali maupun di Jepang, tekanan itu hadir dari rasa tanggung jawab yang terlalu besar, terlalu berat, dan akhirnya tak tertanggungkan. Jawabnya bunuh diri. Itu mungkin.....

Saya tak bisa menyalahkan adat. Tak bisa pula  menyalahkan budaya. Kita semua tak bisa menyalahkan tradisi. 

Tapi kita wajib bertanya: Apakah yang disebut sakral itu masih membuat manusia merasa hidup? Ataukah justru tanpa sadar mendorong sebagian dari mereka keluar dari hidup?

Ini bukan persoalan sederhana. Ini tentang nyawa. Tentang harapan yang padam.

Maka negara harus hadir. Gubernur, bupati, walikota, dan semua yang merasa dituakan dan merasa tua, jangan hanya mengelus dada. Turunlah ke lapangan, buka ruang konsultasi, fasilitasi, bila perlu intervensi nyata. Seperti di tukad Bangkung, langsung buat kawat berduri agar tak mudah nyebur dari jembatan, selanjutnya sambil mencari tahu kenapa bunuh diri.

Pemuka agama, Ida Sulinggih, majelis keumatan, sudah saatnya pula memberikan sundih bukan hanya secara niskala, tapi juga sekala.

Saatnya bhisama dikeluarkan: agar umat tidak tenggelam dalam beban upacara, agar hidup tetap terasa lapang, agar semangat tidak terkubur oleh rutinitas suci yang barangkali belakangan banyak yang menyesakkan.

Karena tidak ada satu pun adat yang lebih penting dari nyawa. Tidak ada satu pun tradisi yang sepadan dengan hilangnya harapan seseorang.

Lalu siapa yang harus peduli? Iya kita semua.
Kita yang masih bernapas. Kita yang masih bisa menangis dan merasa. Kita yang bisa menjadi telinga, menjadi peluk, memberi kehangatan, menjadi cahaya kecil dalam hidup orang lain yang nyaris padam.

Sungguh, tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat seseorang memilih mati, di tempat yang katanya paling indah untuk hidup, Bali.

Sumber :
Wayan Suyadnya

KALI DIBACA