Denpasar WartaGlobal Bali. Id
Purnama kadase, 12 April 2025
Umat Hindu Bali bersiap menyambut rainan gede: Ida Bhatara Turun Kabeh, Sugihan Jawa, Sugihan Bali, Galungan, hingga Kuningan pada April - Mei ini.
Jenis-jenis Hari Suci Purnama
- Purnama Sasih Kasa atau Sasih Sarwanja
- Punama Sasih Karo atau Sasih Badrawada
- Punama Sasih Katiga atau Sasih Asuji
- Purnama Sasih Kapat atau Sasih Kartika.
- Purnama Sasih Kalima atau Sasih Margasira
- Purnama Sasih Kenem atau Sasih Posya
- Punama Sasih Kapitu atau Sasih Magha
- Purnama Sasih Kawulu atau Sasih Phalguna
- Purnama Sasih Kesanga atau Sasih Caitra
- Purnama Kedasa atau Sasih Waisaka
- Purnama Sasih Desta atau Sasih Jyesta
- Punama Sasih Sadha atau Sasih Asadha
Seperti ombak yang tahu kapan harus pasang, umat pun paham kapan harus bersiap. Namun di balik persiapan itu, dunia bergetar. Tidak oleh gempa, tapi oleh harga.
Nyuh daksina yang dahulu bersahabat, kini melonjak secepat tinggi. Dari Rp 7 ribu, kini Rp 18 ribu, bahkan mencapai Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per butir.
Ini baru purnama kedase, belum puncaknya nanti pada galungan. Busung, pisang, bunga, daging babi – harganya dipastikan merangkak naik juga.
Perempuan Bali, pemeluk tradisi sejati, tetap menyiapkan canang. Meski janur harganya melangit dan selepahan ikut mahal, tangan-tangan mereka tetap bekerja. Karena persembahan bukan pilihan, tapi napas srada dan baktinya.
Daksina tanpa nyuh, apa namanya? Apa boleh kertas dibuatkan gambar nyuh ditaruh di daksina? Tanpa nyuh, tak ada daksina. Tanpa daksina, banten kurang lengkap, khususnya pada banten yang megharuskan ada daksina.
Inilah paradoksnya: di pulau yang tahu pasti kapan hari suci tiba, mengapa harga-harga masih melambung tak tentu? Mengapa ini menjadi "penyakit tahunan" yang tak pernah sembuh?
Tidakkah bisa berharap ada tangan yang mengatur, menyeimbangkan, dan menjaga sebagaimana beras atau minyak goreng yang ditentukan HET (harga eceran tertinggi). Saatnya ada tata kelola yang mengatur kebutuhan yang paling esensial itu.
Saat Idul Fitri mendekat, negara turun tangan. Pasar murah digelar, stok diawasi, harga dikendalikan. Nyaris serentak di seantero negeri, juga di Bali. Kenapa tak ada pasar murah pada nyuh daksina, biu, busung, jaje banten, brem tabuh, dupe dan sarana upakara lainnya? Ini jauh lebih dibutuhkan dibandingkan sekadar kebutuhan makan.
Jika negara turun tangan, HET ditentukan, jika ada pelanggaranN ditemuman harga jauh melebihi HET, bakal diberi peringatan dan sanksi menanti, tapi saat jelang Galungan, saat umat Hindu berjibaku dengan kebutuhan upacara, siapa yang datang? Siapa yang peduli? Adakah yang memeriksa daging babi, siapakah yang peduli dengan nyuh dan busung bebas terbang melambung seperti layang-layang tanpa benang?
Sekali lagi, sudah waktunya ada tata kelola tentang barang - barang yang menjadi kebutuhan upacara, yang dijadikan sarana persembahyangan untuk menjamin bahwa doa tetap bisa dipersembahkan.
Jika ada tata kelolanya, apalagi dibuatkan satgas, maka tak ada preman yang ikut menentukan harga, tak ada yang berani menyetok barang jika dilarang, kebutuhan umat akan tetap terjaga.
Pada nyuh daksina, busung dan selepahan, pada ron dan ambu, yang kini harganya meninggi, kita diajak merenung; masihkah ada selingkad? Masihkah orang Bali piawai naik-turun memanjat pohon kelapa, dan jake?
Jangankan memanjat, bisa jadi kelapa yang dipanjat sudah tidak ada karena alih fungsi lahan, dan alih fungsi manfaat. Lahannya jadi bangunan, hotel dan vila, pohon kelapanya jadi hiasan. Tak bisa dicari daunnya, tak lagi ada buahnya karena terus dipangkas.
Lalu kemana harus dicari? Tata kelola menjadi kian diperlukan. Di saat kebutuhan makin dibutuhkan, ada daerah dengan peraturan daerah melarang kelapa dicari janurnya. Entahlah, peraturan itu melindungi pohon kelapa atau harganya karena hukum pasar penawaran-permintaan pasti bekerja. Semakin sulit dicari, semakin banyak permintaan, harga akan semakin melangit.
Umat Hindu di Bali dihadapkan pada pilihan antara keyakinan dan kebutuhan. Untuk itu tradisi tak boleh dikorbankan di altar spekulasi pasar. Untuk itu, lagi-lagi kehadiran kekuasaan menjadi sangat penting untuk mengatur tata kelolanya.
Karena di Bali, kepercayaan bukan sekadar warisan. Ia adalah hidup itu sendiri.
Sumber :
Wayan Suyadnya
KALI DIBACA