MENENUN MAKNA DI TENGAH KETERBATASAN: KETIKA DHARMA DAN YADNYA DIUJI EKONOMI PADA PERAYAAN GALUNGAN DAN KUNINGAN 2025 - WARTA GLOBAL BALI

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

MENENUN MAKNA DI TENGAH KETERBATASAN: KETIKA DHARMA DAN YADNYA DIUJI EKONOMI PADA PERAYAAN GALUNGAN DAN KUNINGAN 2025

Wednesday, 23 April 2025


Bali Warta Global. Id
Perayaan Galungan dan Kuningan, sebagai hari suci utama dalam kalender umat Hindu di Bali, selalu menjadi momen istimewa yang sarat makna spiritual dan budaya. Di tengah modernisasi peradaban yang sarat teknologi, umat Hindu di Bali masih khusuk melaksanakan kewajibannya. Suasana semakin semerbak dipenuhi wangi dupa, gemuruh suara gamelan, serta penjor yang menjulang megah di depan rumah-rumah. Tersimpan makna mendalam tentang kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan), serta pengabdian melalui yadnya (korban suci tulus iklas).

Bila diingat kembali sejarah Galungan dan kuningan secara historis dan mitologis, Hari Raya Galungan dan Kuningan, menjadi simbol kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan), serta momen spiritual untuk menyambut dan menghormati leluhur yang "turun" ke dunia. Hari Raya Galungan berakar dari cerita kemenangan dharma melawan adharma, yang sering disimbolkan melalui tokoh-tokoh mitologis dalam kepercayaan Hindu Bali. Salah satu versi yang banyak dikenal adalah kisah Mayadenawa, seorang raja jahat yang melarang rakyatnya menyembah Dewa.

Mayadenawa memiliki kesaktian luar biasa dan berusaha menghapus kepercayaan terhadap para Dewa. Namun, Dewa Indra turun tangan untuk mengembalikan tatanan dharma. Dalam pertempuran itu, Mayadenawa akhirnya kalah dan tewas. Kemenangan ini diperingati sebagai Hari Galungan, yang dalam bahasa Kawi bisa diartikan sebagai “berjuang” atau “bertarung.” Nama "Galungan" sendiri diyakini berasal dari kata "Dungulan," yang berarti "menang." Jadi, Galungan menjadi simbol kemenangan kekuatan kebaikan melawan kekuatan jahat.

Dalam tradisi Hindu Bali, Galungan dirayakan setiap 210 hari sekali, pada hari Buda Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan), berdasarkan kalender Pawukon. Umat Hindu mempercayai bahwa pada hari ini, roh para leluhur turun ke dunia untuk mengunjungi keluarganya. Oleh karena itu, masyarakat menyambut mereka dengan penuh rasa hormat dan bhakti melalui upacara dan sesajen (banten).

Persiapan Galungan biasanya dimulai sejak hari Tumpek Wariga, dilanjutkan dengan rangkaian hari-hari khusus seperti Penyekeban, Penampahan, dan Galungan itu sendiri. Suasana di kota dan desa akan dipenuhi dengan penjor bambu yang dihias indah dan ditanam di depan rumah sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan.

Sepuluh hari setelah Galungan, umat Hindu merayakan Hari Raya Kuningan, yang jatuh pada Saniscara Kliwon Kuningan (Sabtu Kliwon wuku Kuningan). Kuningan berasal dari kata “kuning,” yang melambangkan kesucian dan kemakmuran. Dan pada hari tersebut, dipercaya bahwa roh leluhur kembali ke alamnya, sehingga umat memberikan penghormatan terakhir dengan sesajen yang biasanya berwarna kuning (menggunakan nasi kuning, tumpeng kuning, dan bunga kuning). Warna kuning juga mewakili anugerah dari Dewa Wisnu, sang pemelihara alam semesta. Kuningan menjadi penutup dari rangkaian perayaan suci yang dimulai sejak Galungan. Dalam konteks spiritual, hari ini adalah ajakan untuk menjaga keseimbangan batin,

Seiring berjalannya waktu dengan peradaban yang berubah, zaman yang semakin maju, namun, masyarakat Hindu khususnya di Bali tetap konsisten melaksanakan rangkaian upacara menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan. Pada tahun 2025 kali ini menghadirkan tantangan tersendiri. Ketika bayang-bayang resesi ekonomi global turut merambat hingga ke desa-desa kecil di Bali, masyarakat pun dihadapkan pada dilema: bagaimana menjaga makna dan kekhidmatan upacara suci ini di tengah tekanan ekonomi yang kian menghimpit?

Moment Galungan dan Kuningan menjadi tradisi yang tidak pernah usang. Galungan dan Kuningan tidak hanya perayaan simbolik. Ini adalah ritual secara spiritual yang memadukan nilai-nilai kebudayaan dan agama dalam keseharian umat Hindu Bali. Dalam tradisi ini, umat Hindu melakukan berbagai bentuk yadnya, mulai dari Dewa Yadnya (persembahan kepada para Dewa), Pitra Yadnya (persembahan kepada leluhur), hingga Manusa Yadnya (persembahan untuk sesama manusia). Semua itu dijalankan dengan tulus dan penuh cinta kasih, seringkali juga diiringi pengorbanan materi yang tidak sedikit.

Sampai kapan pun bagi manusia ekonomi sebagai ujian kehidupan. Tahun ini, inflasi yang meningkat, harga kebutuhan pokok yang melonjak, serta berkurangnya pendapatan masyarakat, membuat persiapan Galungan dan Kuningan terasa lebih berat dari biasanya. Harga daging babi, bumbu dapur, kelapa daksina, bunga, janur, buah-buahan serta perlengkapan upakara lainnya mengalami kenaikan signifikan, sehingga keluarga-keluarga harus berpikir ulang dalam menata pengeluaran mereka.

Di beberapa daerah, ada yang memilih untuk memperkecil skala upacara, mengurangi jumlah sesajen, atau bahkan bergotong-royong dengan tetangga untuk berbagi bahan dan tenaga. Meski demikian, semangat untuk tetap menjalankan yadnya tidak padam. Justru, dari keterbatasan itu, tumbuh kesadaran baru bahwa yadnya bukan sekadar perkara besar-kecilnya persembahan, tetapi ketulusan hati dalam melaksanakannya. Ada beberapa alasan mengapa umat Hindu sangat mempercayai bahwa yadnya mendatangkan anugerah besar:

Hukum timbal balik (rta dan karma). Dalam filosofi Hindu, alam semesta berjalan berdasarkan hukum rta (keteraturan kosmis) dan karma (sebab-akibat). Ketika manusia melakukan yadnya dengan tulus, mereka menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan (Tri Hita Karana). Tindakan ini dipercaya akan mendatangkan pahala (punia) dan anugerah berupa kedamaian, kemakmuran, dan perlindungan dari Tuhan;
Yadnya adalah bentuk syukur. Yadnya bukan hanya meminta, tetapi mengungkapkan rasa terima kasih atas segala berkah yang telah diterima. Keyakinan masyarakat Bali mengajarkan bahwa dengan mempersembahkan sesuatu kepada yang lebih tinggi (Tuhan dan leluhur), maka hidup akan selalu dilimpahi keberkahan, karena kita tidak melupakan asal-usul dan sumber kehidupan itu sendiri.
Anugerah tuhan tidak diukur secara duniawi saja. Umat Hindu di Bali juga percaya bahwa anugerah Tuhan bukan hanya berupa materi, tetapi juga kesehatan, ketenangan batin, keselamatan keluarga, dan keseimbangan hidup. Yadnya menjadi sarana menyucikan diri, mengurangi karma buruk, dan membuka jalan spiritual untuk lebih dekat dengan yang Ilahi.
Bukti nyata dalam kehidupan sehari-hari. Banyak masyarakat Bali merasakan bahwa setelah melakukan yadnya baik secara besar (seperti piodalan, ngaben), maupun kecil (canang setiap hari), Ada perasaan lega, damai, dan terhubung secara spiritual. Pengalaman-pengalaman ini memperkuat keyakinan bahwa yadnya memang membuka jalan datangnya waranugraha (anugerah suci) dari Tuhan.
Ajaran sastra dan tradisi leluhur. Kitab-kitab suci Hindu, seperti Bhagavad Gita dan Veda, mengajarkan bahwa yadnya adalah salah satu bentuk utama pengabdian (bhakti) kepada Tuhan. Di Bali, ajaran ini diwariskan turun-temurun dan dipraktikkan secara konsisten oleh leluhur. Ini membuat keyakinan terhadap kekuatan yadnya tertanam kuat dalam budaya dan spiritualitas masyarakat Bali.

Jadi, yadnya bukan hanya kewajiban agama, tapi juga jembatan untuk menerima anugerah ilahi dalam hidup ini dan kehidupan selanjutnya. Jika kita kembali pada esensi yadnya yang ikhlas, dalam ajaran Hindu, kualitas yadnya tidak diukur dari kemewahan wujudnya, melainkan dari keikhlasan niat dan kesucian pelaksanaannya. Sebagaimana tercermin dalam Bhagavad Gita, yadnya yang dilakukan dengan penuh pengabdian akan membawa kebaikan, baik bagi yang memberi maupun yang menerima.

Fenomena keterbatasan ekonomi tahun ini justru mendorong banyak keluarga untuk merenungkan kembali esensi yadnya. Alih-alih terjebak dalam gengsi dan kemewahan simbolik, mereka mulai menyederhanakan perayaan dengan tetap menjaga makna spiritual. Ada pula yang memilih menggunakan bahan-bahan alami dan lokal untuk membuat banten (sesajen), atau memanfaatkan kembali perlengkapan lama yang masih layak pakai.

Solidaritas sosial dan spiritualitas kolektif yang menarik, krisis ekonomi juga memunculkan solidaritas sosial yang menghangatkan hati. Di banyak banjar (komunitas adat), semangat gotong royong kembali hidup. Warga bahu-membahu membantu satu sama lain, baik dalam bentuk pinjaman bahan, tenaga, maupun waktu. Ada pemuda banjar yang sukarela membantu membuat penjor untuk para tetua yang sudah uzur. Ada pula ibu-ibu yang saling berbagi hasil kebun untuk membuat sajian khas Galungan.

Hal ini membuktikan bahwa perayaan suci seperti Galungan dan Kuningan bukan hanya tentang persembahan kepada para Dewa, tetapi juga membangun harmoni sosial dan mempererat rasa kemanusiaan. Ketika yadnya dijalankan dengan semangat kebersamaan, krisis pun dapat berubah menjadi momentum spiritual yang memperkuat jati diri umat. 

Menenun makna, merajut harapan, dalam situasi yang serba terbatas, umat Hindu di Bali sedang menenun kembali makna Galungan dan Kuningan. Mereka belajar untuk memilah antara yang esensial dan yang seremonial, antara dharma sejati dan formalitas. Keterbatasan ekonomi memaksa masyarakat untuk lebih kreatif, adaptif, dan spiritual, tanpa kehilangan inti dari ajaran leluhur. Perayaan tahun ini menjadi cermin bahwa dharma dan yadnya tidak bisa dibatasi oleh materi. Selama ada niat suci, semangat tulus, dan rasa syukur mendalam, maka yadnya tetap hidup dan bermakna. Justru di tengah keterbatasan, makna suci itu terasa semakin nyata dan membumi.

Galungan dan Kuningan 2025 adalah panggilan jiwa untuk kembali kepada kesederhanaan yang luhur. Ketika ekonomi menjadi tantangan, umat Hindu menunjukkan bahwa spiritualitas sejati tidak tunduk pada angka dan nilai pasar. Di balik banten sederhana dan penjor yang tak semegah dulu, tersimpan kekuatan besar: kekuatan iman, cinta, dan harapan yang tak tergoyahkan. 

Di saat dunia bergulat dengan ketidakpastian, Bali dengan segala kesahajaannya kembali menjadi teladan bahwa kebahagiaan sejati hadir dari pengabdian yang tulus, bukan dari kemewahan yang semu. Maka, marilah terus menenun makna dalam hidup, meski benang kita tak lagi seindah dulu. Karena di sanalah, dharma dan yadnya menemukan rumahnya yang sejati.

Sumber :
Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih.,S.IP.,M.AP
(Akademisi Universitas Warmadewa)

KALI DIBACA