MUNCUL TIGA KEMISKINAN AKIBAT OPERASIONAL UUD 2002 - Warta Global Bali

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

MUNCUL TIGA KEMISKINAN AKIBAT OPERASIONAL UUD 2002

Saturday, 19 July 2025



Bali, WartaGlobal. Id
Hari-hari ini, situasi perpolitikan di Tanah Air "koyo beras diinteri". Seperti beras yang sedang diayak, atau bagaikan gabah yang tengah ditampi. Itu perumpamaannya.

Secara kias, ungkapan ini menggambarkan keadaan dan/atau kondisi negara dan bangsa yang tengah mengalami proses pembersihan, penyaringan, pemilahan dst di mana yang baik akan dipisahkan (dari yang buruk). Ditampi agar setiap sesuatu berkumpul berdasarkan jenis, misalnya, kerikil dengan kerikil, dedak kumpul dedak, kulit beradengan kulit beras dll sehingga akhirnya diperoleh beras yang baik untuk dimasak.

Atau, ada perumpamaan lain yang agak identik, contoh: 1) kolamnya dikeringkan, ikannya melompat - lompat. Jadi, tampak semua isi kolam. Tinggal ketok; 2) Babat Alas. Ungkapan ini tegas dan apa adanya. Tanpa tedeng aling - aling. Membabat hal-hal (negatif) yang merintangi untuk menuju titik yang diharapkan guna bersama-sama melompat ke masa depan; 3) dan lain-lain.

Dengan demikian, jangan harap kegaduhan politik di publik akan mereda tanpa sebuah keputusan yang benar, jujur, berani, creative destruction namun bijaksana. Gak bakalan. Keputusan benar saja tidak cukup, karenanya kudu jujur dan berani. Berani saja masih kurang, tapi harus bijak dll. Indonesia hari ini, butuh keputusan politik yang bersifat creative destruction berbasis nilai dan prinsip saling terkait di atas.

Kenapa? Bahwa isu-isu yang digaduhkan selama ini hanya hal-hal hilir, atau residu dari isu hulu yang tetap dan tetap bercokol nyaris tanpa antisipasi konseptual.

Isu hulu apa itu?

Isu hulu dimaksud, tak lain ialah amandemen empat kali (1999-2002) terhadap UUD 1945 warisan Pendiri Bangsa. Ya. Para pegiat konstitusi menamai amandemen (yang brutal) tersebut dengan istilah Kudeta Konstitusi. Bahkan SBY, Presiden RI ke-6, dalam Pidato Kenegaraan di Senayan, Jakarta, (16/08/2010) menyebut amandemen empat kali terhadap UUD karya Pendiri Bangsa sebagai quite revolution. "Revolusi Senyap." Sekali lagi, itulah hulu persoalan bangsa.

Tatkala Pak Try Soetrisno, Wapres RI ke-6, dalam Simposium Memperingati Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di Universitas Jayabaya tanggal 15 Juli 2025 lalu menyatakan, bahwa UUD NRI 1945 ---ini UUD hasil amandemen--- yang kerap disebut UUD 2002 mengakibatkan rusaknya modal sosial, modal ekonomi, modal politik dan modal kultural; ketika Dr Mulyadi, dosen politik di Universitas Indonesia mengatakan bahwa UUD 2002 membidani 'Oligarki Kembar Tiga' yang terdiri atas Bandar Politik (oligarki ekonomi), Bandit Politik (oligarki politik) dan Badut Politik (oligarki sosial). Nah, cermatan saya atas praktik operasional UUD 2002 menghasilkan sesuatu yang agak unik dan berbeda sebagai dampaknya. Bahwa amandemen empat kali terhadap UUD 1945, selain menimbulkan deformasi (bukan reformasi), kerusakan pada tatanan negara, juga menimbulkan 'Tiga Kemiskinan' secara simultan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah topik yang akan dibahas pada tulisan ini.

Adapun 'Tiga Kemiskinan' dimaksud, antara lain ialah sebagai berikut:

Pertama: Miskin Mental

Hal ini ditandai dengan banyaknya amanah yang dikhianati. Dampaknya, kita nyaris tidak memiliki pemimpin, yang ada hanya penguasa. Diberi jabatan bukan untuk kemaslahatan umat, tetapi untuk kepentingan diri dan kroninya. Makanya korupsi sangat marak lagi berjamaah di sana-sini. Password mereka adalah: "Karaoke". Keruk sana, keruk sini OK.

Kedua: Miskin Moral

Di berbagai lini dan sektor, sudah jarang dijumpai lagi tokoh, yang banyak muncul justru 'toko'. Toko itu tempat jual beli serta pajangan komoditas yang hendak diperdagangkan. Kecenderungan yang muncul, bening sedikit saja langsung ditawar-tawarkan ke publik. "Dijual". Inilah ujud miskin moral. Selain 'tokoh' kini bersifat pramatis, tak tahu malu, juga transaksional. Ya, kini banyak dealer tetapi miskin leader.

Ketiga: Miskin Iman

Kita nyaris tak ada lagi pemuda, yang ada 'pemudi'. Inilah metafora miskin iman di mana maknanya ialah tidak punya pendirian, tidak paham jati diri, gilirannya tak punya harga diri. Tak kenal diri. Dulu, pemuda itu identik dengan gagah perkasa. Sehingga Bung Karno, sang proklamator menyatakan, "Beri aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia!". Akan tetapi, apa yang terjadi kini? Pemuda tak lagi gagah, tetapi 'megagah', yaitu rela menjadi kuli, budak dan antek. Bukan lagi perkasa, namun justru minta dirudapaksa. Diperkosa harkat dan martabatnya.

Inikah yang terjadi di Bumi Pertiwi? Lalu, bagaimana dengan bonus demografi yang tengah melingkupi negeri ini menuju Indonesia Emas 2045? 

Bonus demografi adalah berkah. Namun, jika tanpa upaya sungguh-sungguh dari segenap anak bangsa khususnya kaum mudanya dalam memerangi 'Tiga Kemiskinan' tadi, jangan-jangan bonus demografi dapat berubah menjadi musibah. 

Inilah sepintas soal 'Tiga Kemiskinan' akibat praktik konstitusi hasil amandemen empat kali UUD 1945 (1999-2002), yang kini hidup dan berkembang di era reformasi, atau lebih tepat disebut era deformasi.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

**) MAP 180725, Gd Serpong__

KALI DIBACA