
WartaglobalBali. Id
Denpasar,Hari-hari ini dinamika politik (praktis) di Tanah Air semakin eskalatif. Tak ada tanda-tanda merada. Isu panas terus bermunculan bahkan beranak-pinak dengan bobot nyaris sama dengan isu induk. Kompetitif isu.
Namun, jika jernih mencermati -- bacalah tanda-tanda alam bagi yang berpikir. Metafora kondisi di atas seperti kolam ikan yang tengah dikeringkan oleh sang empu. Alegorinya begini:
"Ikan-ikannya menggelepar, ikannya melompat-lompat".
Maka tampaklah berbagai jenis ikan. Ada ikan teri, misalnya, atau ikan lele, wader, cupang ataupun ikan gabus dan lain-lain. Sedang isu yang bertebaran di publik, itu ibarat pakan ikan, selain membuat semakin terang siapa mereka, karena berebut pakan di permukaan, juga geliat dan peran (para person yang berseteru) terlihat jelas, contohnya begini, "O, si A kelasnya cuma buzzer. Penggaduh di ruang publik"; si B ternyata level man power; si C duduk di marketing dan lain-lain. Di kesenyapan, para pihak saling intip, menilai kekuatan dan kelemahan masing - masing pihak.
Dalam bahasa intelijen, metafora kolam dan ikan tersebut disebut profiling dalam arti luas. Yaitu Proses analisis informasi baik individu maupun kelompok guna menggambar target secara detail. Lazimnya, ada dua sasaran pasca aktivitas ini, misalnya: 1) profiling sekadar update dan validasi data; atau 2) akan ada 'eksekusi' usai kegiatan dimaksud. Entah apa ujud eksekusinya kelak.
Lantas, siapa melakukan profiling? Tentunya para pihak yang bertikai, minimal ia melakukan update situasi guna akurasi langkah ke depan.
Pro kontra soal Wapres berkantor di Papua, misalnya, itu merupakan bentuk 'perang senyap' di masa transisi. Ya. Rezim de jure pada satu sisi, berhadapan dengan jejaring masa lalu di sisi lain. Sebenarnya sangat gaduh, tetapi di permukaan tampak sunyi; meski terlihat sepi, namun gemuruh dalam tataran strategi.
Dalam kredo intelijen menggariskan, yang terlihat bukanlah seperti itu. Hal-hal yang tak nampak bukan berarti tidak ada. Ini perang sunyi. Saling menyerang dalam koridor the killing ground. Ia bukan tempat pembunuhan dalam arti harfiah, tak pula medan tempur terbuka. Killing ground itu strategi menggiring lawan agar masuk agenda yang diinginkan dan/atau menyingkirkan musuh tanpa perlu benturan secara langsung. Ya, killing ground ini lebih hebat daripada proxy war (perang perwalian), dan lebih canggih dari sekadar neocortex war atau perang pemikiran.
Jadi, dalam membaca panggung the killing ground, jangan terjebak dengan apa yang terjadi, tetapi cermati apa yang sesungguhnya terjadi. Di permukaan terlihat layar. Namun, yang menentukan justru di balik layar. Itu pakemnya.
Lengsernya Kabulog yang barusan duduk, kuat disinyalir merupakan buah perang senyap oleh para pihak. Entah siapa. Retorikanya, "Siapa diuntungkan dengan lengsernya Kabulog, apakah mafia pangan? Ataukah jejaring masa lalu, atau rezim de jure? Atau, gabungan dua di antaranya?" Let them think let them decide.
Simpulan prematur catatan metafora ini, bahwa di era transisi -- perang senyap, killing ground strategy itu ada, nyata dan berada (exsistence).
Demikianlah potret kecil perpolitikan Tanah Air berbasis alegori politik.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
**) MAP 100725, Kr Jati__
KALI DIBACA