
Jakarta, WartaglobalBali. Id
Ada lelaki yang memilih diam bukan karena kalah, pun ada ayah yang merunduk bukan karena lemah.
Tapi karena ia tahu: kehormatan tidak lahir dari menang debat, melainkan dari cara melindungi orang yang pernah dicintai.
Gading Marten berdiri tenang dalam badai perpisahan, bukan karena tak terluka, melainkan karena tahu–ada satu jiwa kecil hasil cinta yang tak butuh kisah masa lalu ibunya. Ia hanya butuh rumah yang tetap hangat, meski tak lagi satu atap. Dan beginilah sikap Gading Marten yang sangat "lelaki":
“ππ’π―π¨π’π― π΄π’ππ’π©π¬π’π― πͺπ΄π΅π³πͺ π¨πΆπ¦, π΄π’ππ’π©π¬π’π― π¨πΆπ¦, π¬π’π³π¦π―π’ π¨πΆπ¦ πΊπ’π―π¨ π¨π’π¨π’π π«π’π₯πͺ π―π’π©π¬π°π₯π’.”
Kalimat ini bukan sekadar tanggung jawab, tapi cinta yang masih utuh, meski bentuknya telah berubah. Gading paham, jadi suami bisa gagal–tapi jangan gagal jadi manusia.
Di dunia yang ramai saling buka aib dan berlomba jadi korban, Gading memilih diam dan mendekap masa lalu dalam pelukan yang dewasa.
Ia tak membakar jembatan, karena anaknya mungkin suatu hari perlu menyeberangi kenangan dengan tenang.
Inilah bentuk cinta paling jantan:
menjaga martabat orang yang sudah pergi, karena ia tetap ibu dari anakmu, dan dulu–pernah jadi takdirmu.
Semoga yang lain belajar:
Bahwa cinta sejati tak diukur dari seberapa lama bertahan,
tapi seberapa tulus menjaga nama orang yang pernah kamu cintai–meski kini sudah bukan siapa-siapa.
By: HT
KALI DIBACA