
DENPASAR, WartaGlobalBali.Id – Sabtu 18/10/2025, Bali "Pulau Dewata" yang mendunia dengan pesona spiritualitas dan kedamaiannya, kini sedang berjuang melawan sebuah krisis kesehatan mental yang paradoksal. Provinsi ini mencatatkan tingkat bunuh diri (suicide rate) tertinggi di Indonesia, sebuah realitas pahit yang bertolak belakang dengan citra harmoni yang selama ini diproyeksikan.
Berdasarkan data terkini hingga Oktober 2025, angka bunuh diri di Bali pada 2023 mencapai 3,07 per 100.000 penduduk, dengan 135 kasus yang dilaporkan. Angka ini jauh melampaui rata-rata nasional yang hanya sekitar 0,2%. Tren peningkatan signifikan, hingga 60% secara nasional dalam empat tahun terakhir, menjadikan Bali sebagai salah satu provinsi yang paling terdampak.
Paradoks Bali: Surga Turis, Tekanan bagi Warga
Menurut Maichel Benedictus (Romo Benny), Plt. Ketua DPW Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Provinsi Bali, kasus-kasus baru pada 2024-2025 terus bermunculan, termasuk di kalangan remaja dan mahasiswa, yang kerap menjadi viral di media sosial.
“Pada 2024-2025, kasus-kasus baru terus bermunculan, termasuk di kalangan remaja dan mahasiswa, yang sering viral di media sosial dan X, seperti kasus dua remaja di Denpasar pada Oktober 2025,” ujar Romo Benny dalam interaksinya dengan rekan-rekan jurnalis.
Ia menegaskan, dibutuhkan pembahasan mendalam untuk mengurai mengapa hal ini terjadi, apa penyebab utamanya, dan mencari solusi pencegahan untuk menekan angka ini hingga nol.
Analisis mengungkap beberapa kontradiksi tajam yang menjadi akar masalah:
1. Tekanan Ekonomi dari Pariwisata: Sektor pariwisata yang menggiurkan ternyata menyimpan ketimpangan. Penduduk lokal seringkali terpinggirkan dengan upah rendah, pekerjaan musiman yang tergusur otomatisasi, dan biaya hidup yang melonjak. Rasio Bali yang termasuk tertinggi nasional mencerminkan jurang ini. Pandemi COVID-19 memperparah keadaan, memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meledaknya utang pinjaman online (pinjol).
2. Perubahan Sosial dan Urbanisasi: Migrasi besar-besaran ke kawasan wisata seperti Kuta dan Seminyak mengikis tradisi guyub rukun dan kebersamaan komunal. Generasi muda merasa terisolasi di tengah hiruk-pikuk kehidupan turis, sementara tetap harus menanggung beban tanggung jawab adat dan upacara keagamaan yang tidak ringan.
3. Efek Viral dan "Copycat": Luas wilayah Bali yang relatif kecil (5.780 km²) membuat berita tentang bunuh diri menyebar dengan cepat dan masif di media sosial. Hal ini menciptakan efek "copycat" atau peniruan, di mana ide bunuh diri secara tidak langsung dinormalisasi sebagai "jalan keluar".
4. Paradoks "Healing": Layanan *wellness* seperti yoga dan meditasi, yang menjadi ikon Bali, pada kenyataannya seringkali hanya terjangkau bagi turis asing yang kaya. Sementara itu, akses warga lokal ke layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas justru sangat terbatas.
Mengurai Benang Kusut Penyebab *Ulah Pati*
Kasus ulah pati—istilah Bali untuk bunuh diri—bersifat multifaktorial. Data dari Kepolisian RI (Polri), Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dan penelitian lokal mengidentifikasi faktor dominan:
* Gangguan Kesehatan Mental: Depresi menjadi penyumbang tertinggi (31-40% kasus), diikuti oleh gangguan bipolar, skizofrenia, dan gangguan tidur. Kalangan remaja sangat rentan akibat tekanan akademik dan masalah percintaan, ditandai dengan 4,2% siswa yang mengaku pernah memiliki pikiran untuk bunuh diri.
* Masalah Ekonomi dan Sosial: Cengkeraman utang pinjol dengan debt collector yang agresif, kehilangan pekerjaan, dan konflik keluarga menjadi pemicu utama pada 31,91% kasus.
* Stigma Budaya dan Sosial: Dalam masyarakat Hindu Bali, bunuh diri dianggap bertentangan dengan dharma (kewajiban hidup). Sayangnya, stigma ini justru membuat individu yang membutuhkan malu untuk mencari bantuan. Tekanan juga datang dari tanggung jawab adat yang berat, terutama bagi laki-laki, serta pergeseran nilai dari kebersamaan ke individualisme.
* Faktor Pendukung Lain: Akses yang mudah ke metode tertentu serta efek amplifikasi dari media sosial turut memperbesar risiko. Pada 2024, wilayah seperti Bangli dan Gianyar mencatat kenaikan kasus yang signifikan, dengan korban didominasi remaja.

Solusi Komprehensif: Menuju #BaliBebasUlahPati
Pencegahan bunuh diri memerlukan pendekatan multi-sektor yang melibatkan pemerintah, komunitas, keluarga, dan individu. Berikut adalah rekomendasi solusi yang telah dan akan diimplementasikan:
A. Pencegahan Primer (Untuk Populasi Umum):
* Solusi: Kampanye edukasi kesehatan mental dan anti-stigma di sekolah dan *banjar*. Mengintegrasikan praktik yoga dan meditasi yang selaras dengan budaya Hindu sebagai bagian dari pencegahan stres.
* Implementasi: Program FBSTH UNBI di SMAN 1 Sukawati yang memberikan bimbingan psikologis bagi siswa, serta sosialisasi oleh Pemprov Bali yang melibatkan pemuka agama untuk menekankan konsep *moksha* (tujuan akhir hidup) sebagai lawan dari bunuh diri.
* Dampak: Diharapkan dapat mengurangi pikiran bunuh diri hingga 30% pada kalangan remaja dan memperkuat kembali ikatan komunitas.
B. Pencegahan Sekunder (Untuk Kelompok Berisiko Tinggi):
* Solusi: Memperluas akses layanan kesehatan mental dengan menempatkan psikolog dan psikiater di puskesmas, serta menyediakan hotline krisis 24/7.
* Implementasi: BISA Helpline dari Yayasan Bali Bersama Bisa menjadi ujung tombak dengan menyediakan konseling gratis via WhatsApp (0811-385-5472), tatap muka, dan edukasi. Layanan ini menangani hingga 1.900 panggilan per hari dan telah terintegrasi dengan rumah sakit dan layanan ambulans.
* Dampak: Mendeteksi dini 80% kasus depresi dan mengurangi angka percobaan bunuh diri.
C. Pencegahan Tersier (Pascakrisis):
* Solusi: Memberikan dukungan berkelanjutan bagi penyintas (orang yang selamat dari percobaan bunuh diri) dan keluarganya, termasuk terapi melalui BPJS.
* Implementasi: PDSKJI mengusulkan Perda (Peraturan Daerah) khusus pencegahan bunuh diri pada 2025 yang mencakup pemetaan penyebab dan pelatihan bagi tokoh *banjar*. Dinas Sosial P3A Bali juga menjalankan program konseling bagi keluarga korban.
* Dampak: Memulihkan 70% penyintas dan mencegah efek "copycat".
D. Langkah Sistemik (Pemerintah):
* Solusi: Menangani akar masalah ekonomi melalui subsidi upah di sektor pariwisata dan pengaturan ketat terhadap pinjol. Selain itu, mengamankan lokasi-lokasi yang identik dengan kasus bunuh diri, seperti Jembatan Tukad Bangkung yang peningkatan keamanannya ditargetkan selesai November 2025.
* Dampak: Menargetkan penurunan tingkat bunuh diri hingga 50% dalam dua tahun.
Seruan untuk Aksi Kolektif
Pemprov Bali telah mengakui isu ini sebagai prioritas. Namun, mengatasi krisis ini membutuhkan keterlibatan semua pihak. Langkah dimulai dari keluarga—dengan meningkatkan komunikasi dan empati.
Bagi siapa pun yang membutuhkan bantuan atau mengenal orang terdekat yang sedang berjuang, BISA Helpline (0811-385-5472)
siap melayani secara gratis dan rahasia 24 jam.
“Ingat, bunuh diri bukan solusi; bantuan ada di mana-mana,” tegas pernyataan dalam laporan ini. Mari dukung bersama kampanye #BaliBebasUlahPati untuk mengembalikan Bali sebagai pulau yang damai dan harmonis, baik bagi wisatawan maupun bagi warganya sendiri. (MCB)
KALI DIBACA