Bali Warga Global. Id
Denpasar, 20 April 2025
Redite, minggu pertama wuku Dungulan, Galungan tiba. Suasana kesibukan sudah mulai terasa, galungan merupakan libur fakultatif di Bali yang liburnya dimulai saat penampahan.
Di kalender hari Minggu diraster merah, tapi bagi umat Hindu Bali, ini adalah awal dari perjalanan sakral menuju Galungan—hari ketika dharma kembali menang atas adharma, ketika semesta diajak menyatu dalam kesucian.
Besok, Some Pon Penyajaan. Di banyak rumah, terutama yang masih menjunjung tradisi dengan sepenuh jiwa, aroma jajanan mulai menggoda. Jaje uli, jaje sirat, tape ketan, ental, dan berbagai jenis jajanan tradisional mulai dikerjakan satu per satu.
Tangan-tangan ibu menari di atas tampah, menepung, menggulung, menata, dengan penuh kelembutan dan keteraturan.
Ada semacam kedamaian dalam kesibukan itu. Anak-anak yang dulu belajar dari sudut ruangan kini ikut membantu, mencoba mengingat bentuk jaje yang diajarkan nenek mereka bertahun-tahun lalu.
Hari Selasa Wage dikenal sebagai Penampahan Galungan. Daging babi jadi bahan utama lawar, komoh, dan sate.
Tapi yang paling mencolok dari semua itu adalah para wanita: mereka tidak mengatur dapur, tapi menyiapkan banten. Urusan dapur menjadi tugas prianya. Wanita membuat jerimpen, bea kala, pejati, sodaan—semuanya ditata dan dihias dengan niat yang tulus.
Ada keindahan yang tidak bisa direkam kamera: keheningan batin di balik kepenatan jasmani.
Lalu tibalah Rabu Kliwon—Galungan. Pagi itu, aroma dupa sudah menyambut sebelum matahari muncul.
Satu per satu anggota keluarga duduk bersila di depan kemulan, pura kawitan, lalu berjalan ke pura-pura lain, menyampaikan sembah dan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi dan leluhur.
Bagi yang memiliki tetaneman di setra, mereka melangkah ke pemakaman, membawa sesaji berupa punjungan dan doa, mengingat bahwa hidup hanyalah sekejap, dan pengabdian tak berhenti meski jasad sudah kembali ke tanah.
Ada pula yang ke pantai, membawa punjungan, sesaji yang sama berbicara dalam hati pada keluarga yang abunya telah lama dilarung ke laut.
Keesokan harinya, Kamis Umanis, disebut Manis Galungan. Udara berubah. Kesibukan tampak mereda. Tidak lagi penuh upacara, melainkan tawa dan pelesiran.
Beberapa keluarga berkunjung ke sanak saudara, ada yang memilih ke tempat wisata, atau sekadar duduk di bale sambil minum kopi dan menikmati manisnya kemenangan rohani.
Di balik semua kesakralan itu, dunia menampilkan wajah paradoksnya. Di kota seperti Denpasar, Galungan tak selalu tampil seindah di desa.
Dulu, ketika masih agraris, semua kebutuhan upacara bisa dicari sendiri: kelapa daksina dari pekarangan, janur dari kebun, pisang dari belakang rumah.
Sekarang, hampir semuanya harus dibeli. Tradisi tetap dijaga, tapi ongkos menjaga tradisi itu menjadi beban bagi sebagian keluarga.
Harga nyuh (kelapa) daksina mencapai Rp20.000 per butir. Daksina, yang tak bisa lepas dari kelapa, jadi Rp30.000. Penjor—simbol kemuliaan dan rasa syukur itu—dipatok Rp325.000 per batang. Belum lagi busung, biu, selelahan, buah-buahan dan lainnya.
Soal penjor, saya mencoba menghitung cepat. Jika satu juta rumah Hindu di Bali memasang penjor, maka uang yang berputar hanya untuk penjor bisa mencapai Rp 325 miliar. Angka itu cukup untuk membangun puluhan sekolah, atau membiayai pendidikan ribuan anak.
Tentu, ini bukan soal harus memilih antara tradisi dan kebutuhan dasar. Ini soal bagaimana tradisi bisa tetap lestari tanpa menindih masyarakat.
Sudah saatnya ada tata kelola. Pemerintah dan masyarakat perlu duduk bersama, mencari sistem yang memudahkan umat untuk menjalankan hari sucinya tanpa tercekik oleh harga pasar.
Jika tata kelola dilakukan dengan baik—misalnya memastikan suplai kelapa daksina saat Galungan, memotong mata rantai tengkulak, mencegah mafia janur dan busung—maka tradisi bisa tetap ajeg, dan rakyat bisa tetap tersenyum saat menyambut hari sucinya.
Karena Galungan bukan sekadar ritual. Ia adalah cermin jiwa masyarakat Bali. Dan menjaga jiwa, semestinya tidak semahal itu.
Rahajeng Galungan, dumogi rahayu sareng sami.
Sumber :
Wayan Suyadnya
KALI DIBACA