Denpasar, 7 April 2025
Libur akhir pekan lalu, saya menyempatkan diri jalan-jalan ke Kintamani, Bangli.
Berangkat dari Denpasar, awalnya perjalanan berjalan mulus. Namun setibanya di sekitar jalan menuju Desa Wisata Penglipuran, kemacetan mulai terasa. Antrean kendaraan cukup panjang.
Pemandangan serupa saya temui di jalur menuju Penelokan. Jalan merayap dari dua arah.
Dari pengalaman tersebut, saya menyimpulkan: kemacetan bukan karena jalan rusak atau peristiwa tertentu, melainkan karena tujuan yang sama dan jumlah kendaraan yang membludak dalam waktu bersamaan.
Fenomena ini bisa menjadi cermin untuk mengantisipasi kemacetan yang sangat mungkin terjadi pada saat pelaksanaan Upacara Ida Bhatara Turun Kabeh (IBTK) di Pura Besakih.
Upacara besar ini melibatkan ribuan bahkan ratusan ribu pemedek dari berbagai penjuru Bali dan bahkan luar Bali, yang umumnya datang dengan kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil.
Ketika ribuan orang bergerak dalam waktu yang hampir bersamaan menuju Besakih dengan kendaraan masing-masing, maka kemacetan menjadi keniscayaan.
Logikanya sederhana: daya tampung jalan menuju Besakih terbatas. Ketika jumlah kendaraan melebihi kapasitas tersebut, maka yang terjadi adalah stagnasi arus, antrean panjang, dan akhirnya kemacetan parah.
Lebih dari sekadar ketidaknyamanan, ini juga bisa berdampak pada kelancaran upacara dan kenyamanan umat yang sedang menjalankan ritual sakral.
Lalu, apa solusinya?
Salah satu pendekatan yang sangat mungkin diterapkan adalah penyediaan angkutan massal khusus IBTK.
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten bisa bersinergi menyediakan rute shuttle bus (teman bus) dari berbagai titik strategis menuju Besakih.
Misalnya: Denpasar: Terminal Gor Ngurah Rai – Besakih, Gianyar: Terminal Gianyar – Besakih, Tabanan, Jembrana, Buleleng, Karangasem: Masing-masing menyediakan armada pengangkut terjadwal menuju Besakih
Dengan begitu warga cukup parkir kendaraan pribadi di titik keberangkatan, lalu melanjutkan perjalanan dengan angkutan massal yang sudah disediakan secara terorganisir.
Dengan demikian, jumlah kendaraan yang menuju Besakih bisa ditekan secara signifikan, kemacetan bisa dihindari, dan pengalaman spiritual umat menjadi lebih nyaman dan khusyuk.
Selain itu, pendekatan ini juga ramah lingkungan, mengurangi polusi, serta mendukung budaya tertib dan gotong royong dalam menjalankan kehidupan beragama. Bukankah ibadah juga sejatinya tentang saling menghormati dan memudahkan satu sama lain?
Momen IBTK adalah momentum sakral, tapi juga momen pengingat bahwa perayaan besar butuh manajemen yang bijak.
Kemacetan bukan takdir, ia bisa dihindari jika kita mau bergeser dari egoisme kendaraan pribadi menuju kesadaran kolektif.
Sumber :
Wayan Suyadnya
KALI DIBACA