Denpasar, 9 April 2025
Merah Cabai Bisa Mematikan Imajinasi Manusia,
Saya sempat ke kios penjual bahan dapur di seputar Denpasar. Sambil berbelanja, sekaligus mencari jawab atas harga kebutuhan dapur.
Harga cabai rawit ternyata masih di atas seratus ribu rupiah per kilogram. Bawang merah, Rp 45 ribu. Bawang putih, Rp 47 ribu. Telur, Rp 53 ribu per kerat serta sejumlah harga-harga sayur mayur.
Itu harga setelah dua hari besar: Idul Fitri dan Nyepi. Dua hari besar, dua momentum suci, tapi harga masih tetap tinggi.
Saya berpikir bagaimana nanti menjelang Galungan, 23 April 2025? Sebelum Galungan ada Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, selanjutnya Galungan. Apakah kita akan melihat keajaiban: harga turun? Atau akan kembali ke pola lama: grafik menanjak, kantong rakyat melorot?
Kita tahu jawabannya. Kita hanya pura-pura bertanya. Setiap menjelang hari raya, harga kebutuhan dapur selalu saja melonjak.
Ini bukan lagi anomali. Ini pola. Ini siklus tahunan yang kita terima tanpa perlawanan. Semua seakan maklum.
Tapi lucunya, kendati mahal, makanan tetap enak. Masakan ibu-ibu tetap pedas, tetap harum oleh tumisan bawang. Tak ada yang dikurangi, tak ada yang dihemat. Artinya: harga naik, tapi tetap dibeli.
Inilah wajah paling telanjang dari ironi. Kebutuhan pokok, tak bisa tidak. Maka rakyat membeli, entah dengan apa.
Dan di situlah letak luka paling dalam: ketika kebutuhan pokok tetap terbeli, meski dengan susah payah, maka pasar merasa benar untuk menaikkan harga.
Inflasi pun naik. Cabai jadi indikator ekonomi. Satu komoditas kecil, menentukan nasib daerah.
Sebagai penulis yang selalu berpikir, pertanyaannya bukan “kenapa naik?” tapi “kenapa dibiarkan naik?” Di mana negara saat harga kebutuhan pokok naik setiap hari raya? Mengapa tidak ada regulasi yang tegas, mengatur tata kelolanya, sistem distribusi yang bersih, pengawasan yang nyata?
Negara semestinya tidak hanya hadir sebagai spanduk di pinggir jalan. Ia harus hadir di gudang-gudang penyimpanan, di pasar-pasar subuh, di jalur distribusi, di belakang pengecer, di hadapan mafia. Serta menghitung alam; hujan, kemarau, suhu yang membuat panen berfluktuasi.
Karena bukan hanya cabai yang jadi masalah. Di Bali, menjelang Galungan, kebutuhan upacara juga ikut berdarah.
Busung (janur), ron (daun enau), slepahan, pisang, bunga, buah-buahan, semuanya ikut menari dalam pasar yang liar.
Barang-barang ini bukan barang hiasan. Ini kebutuhan spiritual. Tapi harganya dipermainkan seolah hanya ornamen.
Negara mestinya tahu: di Bali, harga janur tak kalah penting dari harga beras. Karena orang Bali bisa tak makan sehari, tapi tidak bisa tidak membuat banten saat Galungan. Tak berani tidak menyertakan pisang pada banten-banten tertentu.
Dan saat keimanan dipaksa berhadapan dengan harga, maka negara seharusnya sudah lama turun tangan.
Tapi kita hidup dalam dunia paradoks. Di mana kepercayaan dikorbankan di altar ekonomi. Di mana pasar lebih dipercaya dari petani. Di mana harga ditentukan bukan oleh kebutuhan, tapi oleh siapa yang paling dulu mencium bau uang.
Negara, jangan terus bersembunyi di balik kata "mekanisme pasar". Karena pasar yang tak diatur, hanyalah kandang bagi spekulan.
Sumber :
Wayan Suyadnya
KALI DIBACA