Mediasi ala 'Bayar Kucing dalam Karung' di PN Sorong - WARTA GLOBAL BALI

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

Mediasi ala 'Bayar Kucing dalam Karung' di PN Sorong

Monday, 9 June 2025



Warta Global Bali. Id
Sorong - Di jaman Orde Baru, istilah 'beli kucing dalam karung' cukup populer, terutama di dunia politik. Istilah ini merujuk kepada sistem pemilihan anggota DPR RI yang hanya melalui pencoblosan lambang partai politik tanpa disebutkan (apalagi ditampilkan foto) calon anggota legislatif yang dipilih. Sistem pemilihan semacam ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pemilih karena ternyata hampir semua anggota DPR yang terpilih tidak dikenal, bahkan banyak yang tidak dikehendaki rakyat.

Mengapa bisa demikian? Jawabannya adalah karena rakyat pemilih dipaksa untuk datang ke TPS hanya untuk mencoblos salah satu dari 2 partai politik (PPP dan PDI) dan 1 ormas, yakni Golkar.

Para pemilih tidak perlu tahu siapa kandidat yang dipilihnya. Semua calon ditentukan partai politik yang dicoblos oleh pemilih. Rakyat pemilih dianggap bodoh dan tidak layak menentukan calon legislatif yang layak duduk di parlemen. 

Analogi, dengan sedikit modifikasi 'bayar kucing dalam karung', di atas itu ternyata jadi modus pemaksaan kehendak dalam proses sidang mediasi di Pengadilan Negeri (PN) Sorong. Sebagaimana dalam tulisan terdahulu berjudul 'Membedah Absurditas Sidang Mediasi di PN Sorong', kasus ini lebih rumit dari kisah penggal tubuh alias dibelah dua seorang bayi oleh Raja Soleman.



Pihak penggugat, PT. Bagus Jaya Abadi (BJA), yang hanya diwakili kuasa hukumnya dengan gagah perkasa hadir di ruang sidang mediasi membawa konsep 'bagi dua' lahan obyek sengketa, plus bayar kompensasi Rp. 2,5 miliar, tanpa menunjukkan dokumen legalitas kepemilikan atas lahan yang diklaimnya itu. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan besar: lahan mana yang dimaksud untuk dibagi dua dan harus bayar kompensasi miliaran oleh penggugat?

Ketika tergugat, Hamonangan Sitorus, mempertanyakan dasar klaim dan proposal 'bagi dua' lahan dimaksud, pihak penggugat yang diwakili pengacara Albert Frasstio, tidak bersedia menjelaskan alas hak atas klaim mereka dengan alasan hal itu merupakan 'materi pokok perkara' yang hanya bisa dibuka di persidangan. 

Anehnya, pihak PN Sorong melalui hakim mediasi, Rivai Rasyid Tukuboya, S.H., terkesan seia-sekata dengan kuasa hukum yang mewakili sang perwakilan penggugat. Hakim ini terlihat berpihak dengan mendukung ide untuk segera masuk ke tahap persidangan, yang artinya sidang mediasi dianggap gagal karena tergugat menolak untuk menerima proposal 'bagi dua' lahan obyek sengketa dan bayar kompensasi Rp. 2,5 miliar. 

Padahal, yang diinginkan tergugat Hamonangan Sitorus adalah penjelasan tentang lokasi lahan yang diklaim penggugat karena adanya kesimpangsiuran informasi terkait posisi lahan yang dipersoalkan. Merujuk kepada keterangan lahan yang dituangkan dalam proposal penggugat, sangat jelas terlihat bahwa lokasi lahan yang diklaim penggugat adalah wilayah laut yang tidak mungkin ada alas hak kepemilikan di atasnya.

Berdasarkan fakta tersebut, maka sudah sewajarnya tergugat menanyakan kepastian lokasi lahan milik penggugat yang persoalkan. Jika lahan yang diklaim sudah jelas alias duduk perkara telah terang-benderang, maka perundingan selanjutnya akan lebih mudah dan lancar. Ibarat kucing dalam karung sudah terlihat jelas jenisnya, warna bulunya, ukurannya, usianya, dan jenis kelaminnya, maka proses negosiasi berikutnya pasti lebih gampang.

Hakim mediator semestinya merupakan sosok bijaksana yang dapat melihat itikat baik-buruk para pihak yang dimediasi. Lebih daripada itu, hakim mediator seharusnya memahami persoalan secara jelas, tepat, detail dan tidak ada keraguan di dalamnya, sehingga dia dapat mendorong para pihak ke arah pencapaian solusi terbaik bagi mereka.

Untuk itu, hakim mediator perlu memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap pihak yang bersengketa untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya apa yang menjadi keberatan dan harapan masing-masing dalam perkara yang sedang dimediasikan. Dalam konteks mediasi yang didasari keinginan mempertemukan simpul kepentingan yang berbeda antara penggugat dan tergugat, adalah tidak elok jika salah satu pihak, atau bahkan semua pihak yang terlibat mediasi, tidak tahu dan paham apa 'isi karung' yang dipertengkarkan di ruang sidang mediasi.

Keberhasilan mediasi yang baik, benar, beradab, dan adil bagi semua pihak sangat ditentukan oleh pemimpin mediasi yakni hakim mediasi atau mediator non-hakim. Untuk keberhasilan itulah, biasanya hakim mediator semacam ini diberikan apresiasi dan reward yang tinggi oleh institusinya. Sebaliknya, kegagalan mediasi akan menjadi catatan kinerja buruk bagi seorang hakim mediator. 

Sumber, Wilson W

Butet

KALI DIBACA