
Bali , wartaGlobal. Id
20/6/2025
Di balik kemegahan budaya Bali yang telah mendunia, ada satu tradisi tua yang terus hidup dan menuai perdebatan: tajen, atau sabung ayam. Lebih dari sekadar pertarungan dua jago di dalam gelanggang, tajen bagi sebagian masyarakat Bali adalah bagian dari warisan sakral yang menyatu dalam Bhuta Yadnya—ritual persembahan untuk keharmonisan alam semesta.
Namun dalam perjalanannya, tajen mengalami distorsi. Dari yang semula bagian dari upacara adat, ia berubah menjadi kegiatan harian yang sarat taruhan, uang besar, dan bahkan menjadi sumber konflik sosial. Dan yang paling disayangkan, manfaat ekonominya lebih banyak dirasakan segelintir orang, bukan oleh masyarakat luas tempat tajen itu berlangsung.
Warisan Budaya yang Terpinggirkan oleh Kepentingan. Dalam filosofi Hindu Bali, tajen sebagai bagian dari tabuh rah dilaksanakan untuk menyeimbangkan unsur bhuta (negatif) dan dewa (positif). Darah yang tertumpah dalam pertarungan ayam dipercaya mampu mengembalikan keseimbangan kosmis dalam upacara-upacara besar seperti Panca Wali Krama, Ngaben, atau Pelebon.
Namun yang terjadi sekarang, banyak lokasi tajen yang tidak lagi berhubungan dengan upacara adat. Arena tajen digelar rutin tanpa alasan keagamaan, sering kali atas nama "tradisi", tapi praktiknya sangat jauh dari nilai sakral. Taruhan uang menjadi tujuan utama, dan yang diuntungkan hanyalah pihak-pihak tertentu: pemilik arena, bandar taruhan, dan oknum yang melindungi operasi ini.
Siapa yang Diuntungkan? Siapa yang Dirugikan?
Masyarakat sekitar lokasi tajen kerap hanya menjadi penonton pasif. Mereka tidak mendapatkan kontribusi nyata, apalagi kompensasi dari hasil kegiatan tersebut. Bahkan tidak jarang justru merasa terganggu dengan:
Kebisingan dan kemacetan, Kehadiran preman dan aksi kekerasan, Anak muda yang mulai ikut berjudi, Potensi penyalahgunaan narkoba dan miras di lokasi tajen liar.
Sementara keuntungan ekonomi dari setiap putaran taruhan bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah, hanya mengalir ke “segitiga emas” pengelola: pemilik lahan, penyelenggara tajen, dan bandar besar.
Inilah yang menimbulkan kecemburuan sosial dan keretakan nilai gotong royong yang menjadi ruh masyarakat Bali.
Tajen Seharusnya Menghidupi Budaya, Bukan Menguras Masyarakat, Jika memang tajen ingin dijadikan bagian dari budaya yang dilestarikan dan bahkan dilegalkan, maka harus ada prinsip keadilan sosial dan distribusi manfaat yang jelas.
Beberapa langkah konkret yang dapat dipertimbangkan:
1. Transparansi pengelolaan keuangan arena tajen – Sebagian hasil kegiatan harus masuk ke kas desa adat atau dana sosial masyarakat.
2. Koperasi Tajen Budaya – Dibentuk badan usaha desa untuk mengelola hasil tajen dan mendistribusikan ke warga, terutama untuk bantuan pendidikan, perawatan pura, dan infrastruktur desa.
3. Peraturan Daerah Khusus Tajen Budaya – Pemerintah daerah dapat mengatur tajen resmi sebagai bagian dari kegiatan budaya, dengan pembatasan waktu, lokasi, dan tata cara pelaksanaan.
4. Pembinaan Generasi Muda – Mencegah keterlibatan anak muda dalam taruhan dan mengalihkan pada pelatihan seni, peternakan ayam lokal, atau kerajinan sangkar.
Potensi Tajen Sebagai Ekonomi Budaya Kolektif.
Jika dilakukan dengan tata kelola yang baik, tajen tidak hanya menjaga warisan leluhur, tapi juga bisa:
1. Menggerakkan ekonomi lokal, dari peternak ayam aduan, pembuat sangkar, hingga warung rakyat.
2. Menjadi objek wisata budaya bagi wisatawan domestik dan mancanegara yang ingin memahami Bali dari sisi ritualnya.
3. Menyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari retribusi budaya yang dikelola pemerintah desa.
Hal ini hanya akan mungkin terjadi jika kegiatan tajen tidak hanya menguntungkan elite, tetapi menginspirasi kemajuan kolektif masyarakat desa.
Suara Warga, “Kami Butuh Manfaat, Bukan Hanya Debu dan Kebisingan”
Made Suka, seorang warga dari desa di Kabupaten Bangli, menyampaikan keluhannya,
“Setiap minggu tajen digelar, orang luar datang bawa uang banyak. Tapi kami warga hanya dapat debu jalan dan suara gaduh. Bahkan anak-anak muda mulai belajar taruhan. Di mana budaya sucinya?”
Pernyataan ini menggambarkan krisis tajen hari ini: kehilangan makna, kehilangan kendali, dan kehilangan manfaat bagi masyarakat lokal.
Legalisasi Tajen Harus Berbasis Adat dan Keadilan Sosial. Tidak salah jika masyarakat adat ingin mempertahankan tajen sebagai bagian dari warisan leluhur. Namun kita juga tidak boleh menutup mata bahwa dalam praktiknya, tajen telah berubah menjadi ladang bisnis yang tidak transparan dan merugikan masyarakat kecil.
Jika ingin tajen dilegalkan, maka regulasinya harus mengembalikan tajen ke pangkuan adat, dengan prinsip pararem desa (peraturan lokal), berbasis nilai keadilan sosial, dan kontribusi nyata kepada masyarakat.Budaya adalah milik bersama. Maka manfaatnya pun harus dirasakan bersama.
Sumber :Masyarakat
Butet
KALI DIBACA