Foto : Ilustrasi AIBANDUNG & LAMPUNG – Gelombang operasi pemberantasan korupsi kembali mengguncang panggung politik lokal Indonesia dalam dua hari berturut-turut. Di Bandung, Jawa Barat, aparat kejaksaan akhirnya menetapkan tersangka setelah penyidikan panjang. Sementara di Lampung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang mengejutkan.
Bandung Berduka: Wakil Wali Kota Erwin
Ditetapkan sebagai Tersangka
Setelah melalui proses penyidikan yang cukup panjang dan mengundang polemik, Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung akhirnya mengambil langkah tegas. Pada Selasa, 9 Desember 2025, mereka secara resmi menetapkan Erwin (53), Wakil Wali Kota Bandung periode 2025-2030, sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi.
Penetapan ini seperti gempa susulan setelah sebelumnya pada 30 Oktober 2025, tim Kejari menggeledah ruang kerja Erwin di Balai Kota Bandung. Kala itu, aksi tersebut sempat menuai cibiran karena dianggap lamban, terlebih jika dibandingkan dengan penyidikan terhadap mantan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang rumahnya digeledah namun hingga kini belum juga ditetapkan sebagai tersangka.
"Saat ini, penyidikan umum telah ditingkatkan menjadi penyidikan khusus. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 75 saksi dan dua alat bukti yang dianggap cukup, kami yakin telah memenuhi unsur untuk menetapkan tersangka," jelas Jaksa Penyelidik Kejari Bandung dalam pernyataan resminya.
Erwin diduga kuat melanggar Pasal 12 huruf e juncto Pasal 15 Undang-Undang Tipikor, terkait gratifikasi dan penggelapan dalam pengelolaan keuangan negara. Modus operandi yang diungkap bersifat klasik namun efektif: meminta jatah dalam proyek pengadaan barang dan jasa daerah. Proyek-proyek APBD Kota Bandung diduga dijadikan seperti ATM pribadi untuk mengisi kocek tertentu.
Tidak sendirian, dalam duet yang memilukan, Rendiana Awangga, Ketua Fraksi NasDem Kota Bandung, juga turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Duet politik ini berubah menjadi duet yang memalukan di hadapan hukum.
Profil Erwin sendiri cukup mentereng. Lahir 18 Mei 1972, ia adalah kombinasi unik sarjana ekonomi (Unpas) dan magister agama (Uninus). Kariernya melesat dari pengusaha sukses selama dua dekade, lalu menjadi anggota DPRD, hingga akhirnya terpilih sebagai Wakil Wali Kota. Laporan LHKPN terakhirnya mencatat kekayaan bersih mencapai Rp25,4 miliar dengan utang hanya Rp2,6 miliar—angka yang bagi sebagian orang sangat fantastis, namun bagi APBD Bandung mungkin hanya setara dengan pemasukan parkir.
Guncangan dari Lampung: Bupati Ardito Wijaya Diciduk KPK
Hanya berselang satu hari setelah gempa di Bandung, guncangan serupa terjadi di Lampung Tengah. Pada Rabu, 10 Desember 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan OTT yang menjerat Ardito Wijaya, Bupati Lampung Tengah yang juga merupakan kader Partai Golkar.
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, telah membenarkan operasi ini. Ardito ditangkap terkait dugaan suap dalam proses pengesahan Rancangan APBD dan proyek-proyek daerah. Saat berita ini diturunkan, Ardito masih berstatus sebagai terperiksa, dan KPK memiliki waktu 1x24 jam sejak penangkapan untuk menentukan langkah hukum berikutnya, apakah akan ditahan atau ditetapkan sebagai tersangka.
Kekayaan Ardito Wijaya yang tercatat dalam LHKPN terakhir mencapai Rp12,8 miliar, yang terdiri dari aset bangunan, kendaraan, dan surat berharga. Kekayaan ini kini menjadi bahan pemeriksaan untuk mengetahui keterkaitannya dengan dugaan suap yang menjeratnya.
Duka Nasional dan Tanda Tanya Besar
Dua peristiwa ini, yang terjadi hampir beruntun, menyisakan duka dan tanda tanya mendalam bagi publik. Di satu sisi, penegakan hukum di daerah tampaknya masih terus bergerak, menunjukkan bahwa siapapun tidak kebal hukum. Namun di sisi lain, pola korupsi yang diungkap—jatah proyek dan suap penganggaran—adalah penyakit lama yang tak kunjung sembuh, menggerogoti uang rakyat di level akar rumput.
Publik menyaksikan dengan perasaan muak bagaimana dua pemimpin daerah, yang seharusnya menjadi garda terdepan pembangunan dan pelayanan, justru terjerumus dalam kubangan yang sama. Dari puncak kehormatan, mereka meluncur cepat ke lembah kehinaan.
Seorang pengamat hukum politik dari Universitas Padjadjaran, Dr. Aulia Riza, memberikan komentar singkat: "Ini adalah cerminan sistemik. Pemberantasan korupsi harus mulai fokus pada pencegahan dengan memperkuat sistem pengawasan internal daerah dan transparansi anggaran. Menangkap setelah kejadian adalah prestasi, tetapi mencegah agar tidak terjadi adalah kewajiban."
Sementara itu, suasana di Kota Bandung dan Lampung Tengah mendung. Warga di kedua daerah dihadapkan pada realitas pilu: pemimpin yang mereka pilih atau percayai ternyata terlibat dalam praktik yang justru merugikan mereka. Kini, semua mata tertuju pada proses hukum selanjutnya, menunggu apakah keadilan benar-benar akan ditegakkan, atau kisah ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak episode panjang drama korupsi Indonesia yang tak kunjung tamat. (MCB)
KALI DIBACA

