HRS Laporkan Jokowi dan 26 Pejabat Lainnya ke ICC dalam Kasus KM 50: Babak Baru Penuntutan HAM Internasional? - Warta Global Bali

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

HRS Laporkan Jokowi dan 26 Pejabat Lainnya ke ICC dalam Kasus KM 50: Babak Baru Penuntutan HAM Internasional?

Tuesday, 9 December 2025


Den Haag, Belanda, WartaGlobalBali.Id – 9 Desember 2025. Habib Rizieq Shihab (HRS), pemimpin Front Pembela Islam (FPI), mengumumkan bahwa kasus insiden KM 50 telah resmi didaftarkan ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) di Den Haag, Belanda, pada September 2025. Pengaduan tersebut melibatkan 26 pejabat negara, dengan nama terdepan adalah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pengumuman ini disampaikan HRS pada 8 Desember 2025, dengan pernyataan bahwa laporan telah "diregistrasi" dan pihaknya sedang mempersiapkan materi lebih lanjut. Pernyataan ini langsung mengguncang jagat politik dan hukum Indonesia, membuka kembali luka lama kasus penembakan yang hingga kini dinilai belum tuntas.

Daftar 26 Nama: Misterius dengan Isyarat Kabinet

Meski HRS belum merilis secara detail ke-26 nama tersebut, ia menegaskan bahwa Jokowi adalah nama pertama. Yang lebih menggegerkan, HRS mengisyaratkan bahwa beberapa nama yang dilaporkan masih aktif menjabat di kabinet Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Implikasinya, suasana politik dalam negeri diprediksi akan memasuki fase tegang dengan saling lirik di antara elite.

"Para pejabat itu, ada yang masih duduk manis di kabinet sekarang. Bayangkan rapat kabinet setelah ini, semua saling pandang," ujar seorang pengamat politik yang enggan disebut namanya.

Kilas Balik Kasus KM 50: Tragedi Tol yang Tak Kunjung Usai

Kasus KM 50 merujuk pada insiden penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020. Mereka tewas dalam baku tembak dengan aparat Kepolisian setelah melakukan pengejaran.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam penyelidikannya menemukan indikasi pelanggaran HAM berat. Dua dari enam korban diduga ditembak saat sudah dalam penguasaan atau kontrol aparat. Namun, proses hukum di dalam negeri dianggap publik gagal memberikan keadilan.

Satu-satunya terdakwa, Briptu (sekarang Aipda) Rizky Rahmadi, yang didakwa menembak empat anggota FPI, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2022. Vonis ini menuai kritik dan menimbulkan tanda tanya besar mengenai akuntabilitas penuh atas kematian keenam korban.

Jalan ke Den Haag: Mungkinkah ICC Mengadili Indonesia?

Langkah HRS membawa kasus ini ke ICC bukan tanpa alasan. Posisi Indonesia yang bukan negara pihak Statuta Roma menjadi tantangan terbesar. Pemerintah Indonesia secara konsisten menyatakan tidak tunduk pada yurisdiksi ICC.

Namun, sejarah ICC menunjukkan yurisdiksi pengadilan ini bisa menjangkau negara non-anggota dalam situasi tertentu, terutama jika negara tersebut dinilai tidak mampu atau tidak mau (unwilling or unable) menuntaskan kasus kejahatan berat secara adil. Contohnya adalah investigasi ICC terhadap situasi di Sudan, Myanmar, dan terbaru, Filipina.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang menarik keanggotaan negaranya dari ICC, bahkan ditangkap di Manila pada Maret 2025 dan dikirim ke Den Haag untuk diadili terkait kebijakan "perang narkoba"-nya. Ini menjadi preseden kuat bahwa pintu ICC tidak sepenuhnya tertutup.

"Mengatakan Indonesia tidak tunduk pada ICC seperti murid yang bilang tidak tunduk pada matematika. Tapi hukum internasional punya jalannya sendiri. Filipina contoh nyatanya," ujar ahli hukum internasional, Prof. Hikmahanto Juwana, dalam analisis terpisah.

Respons Pemerintah dan Konsekuensi Potensial

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia atau Istana terkait laporan ke ICC ini. Pada masa lalu, Presiden Jokowi hanya menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan dalam kasus KM 50, tanpa pernah menyinggung kemungkinan dirinya dilaporkan.

Kepolisian sejak awal bersikukuh bahwa tindakan mereka adalah pembelaan diri. Sementara itu, rekomendasi Komnas HAM untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc oleh DPR tak kunjung terealisasi, menambah daftar kebuntuan.

Jika ICC menerima dan memulai penyelidikan resmi (investigation), konsekuensinya bisa sangat serius. ICC berwenang mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional. Ke-26 pejabat yang dilaporkan berpotensi menghadapi pembatasan perjalanan ke 123 negara anggota Statuta Roma. Mereka bisa ditangkap jika menginjakkan kaki di wilayah negara anggota.

Daftar tokoh dunia yang telah berurusan dengan ICC cukup membuat ciut, mulai dari mantan Presiden Pantai Gading Laurent Gbagbo, komandan militer Kongo Bosco Ntaganda, hingga Presiden Sudan Omar al-Bashir. Pada 2023, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga dikenai surat perintah penangkapan ICC.

Publik Menanti: Antara Skeptisisme dan Harapan

Reaksi publik terbelah. Sebagian melihat langkah ini sebagai upaya terakhir mencari keadilan setelah jalan di dalam negeri buntu. Sebagian lain skeptis, menganggapnya sebagai manuver politik dan simbolis belaka, mengingat kompleksitas yurisdiksi ICC.

ICC sendiri hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai status registrasi laporan dari HRS tersebut. Publik Indonesia seperti menonton episode awal dari drama hukum internasional yang penuh ketegangan: KM 50: The Den Haag Saga.

Yang pasti, pengumuman ini telah memastikan bahwa kasus KM 50 belum akan hilang dari memori kolektif bangsa. Ia memasuki babak baru yang lebih global, rumit, dan penuh konsekuensi, menguji komitmen Indonesia terhadap penegakan HAM dan kedaulatan hukum di mata dunia.
(MCB)


KALI DIBACA