Angkutan Massal Dan Angkutan Publik*Menu Keseharian Bali - WARTA GLOBAL BALI

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

Angkutan Massal Dan Angkutan Publik*Menu Keseharian Bali

Monday, 14 April 2025


WartaGlobal Bali. Id
Denpasar, 15/4/2025
Kita semua pasti tak ingin bertemu kemacetan di jalan. Di Denpasar dan pusat-pusat keramaian di Bali cerita kemacetan menjadi menu keseharian.

Lucunya, banyak diantaranya sengaja mencari jalan tikus guna menghindari kemacetan, malah bertemu macet parah di jalan itu.

Di antara riuh rendah kemacetan itu, terselip seutas kisah paradoks yang mengguratkan realita dan imajinasi yaitu angkutan publik dan angkutan massal. 

Mengurai kemacetan solusi yang disuguhkan adalah angkutan publik. Tunggu dulu. Apa itu angkutan publik? Angkutan yang bisa dipakai oleh publik;  taksi, angkot, bus dan angkutan berplat kuning. Kenapa taksi konvensional mati? Kenapa angkot tak ada lagi? Bukankah angkutan publik model itu menambah mobil lalu lalang di jalan? Ketika mobil lalu lalang bertambah,  bukanlah akan menyumbang kemacetan? Itu artinya, angkutan publik bukan solusi. Sekali lagi angkutan publik di kota Denpasar, dan pusat-pusat keramaian di Bali, bukan solusi mengurai kemacetan.   

Apalagi masyarakat Bali yang sangat mandiri dalam bertransportasi. Setiap warga yang sudah dewasa siap dengan sepeda motornya ke mana saja.

Bagi kalangan menengah ke atas, mobil pun siap mengantar mereka menelusuri jalanan di sudut  pulau Dewata ini dengan ringan dan sigap. Mereka tak memerlukan angkutan publik karena itulah angkot mati, perusahaan taksi konvensional ambruk. Tanpa gemuruh angkot atau taksi konvensional, masyarakat Bali telah bisa kemana saja.

Di sinilah paradoks itu terjadi. Di balik kemandirian itu,  di kala banyak orang menuju tempat tertentu pada waktu yang bersamaan sengan menggunakan kendaraan masing-masing, sementara ruas jalan tak mampu menampunh jumlah kendaraan itu, membuat kemacetan tak terelakkan, seperti hari besar menyambut upacara di Besakih atau momentum kebersamaan menuju tempat-tempat vital seperti bandara Ngurah Rai dan Ubud.

Di sinilah peran angkutan massal meradang sebagai harapan, bukan angkutan publik, angkutan massal menjadi pelipur lara mengurai  potensi kemacetan yang menyeret perjalanan waktu keseharian warga kota.

Sebuah bus menjadi angkutan massal apabila 
bus yang panjangnya 8 - 10 meter itu, berisi banyak orang secara massal, bukan bus kosong yang melintasi jalanan. Jika bus kosong yang lalu lalang, keberadaannya justru memperparah kondisi jalanan, bus itu akan menyumbang kemacetan yang begitu besar.

Bagaimana menjadikannya massal? Tentu menjadi tanggung jawab semua warga. Pemerintah sudah berbaik hati menggelontorkan subsidi menguarai kemacetan, untuk kepentingan yang lebih luas, maka menjadikan bus sebagai angkutan massal menjadi tanggung jawab semua warga.

Bali bagai kanvas yang dipenuhi nuansa paradoks, menyuguhkan dua wajah yang beriringan: satu sisi digurat oleh kemandirian pribadi yang hampir melenyapkan kebutuhan akan angkutan publik, sementara sisi yang lain menuntut kehadiran angkutan massal untuk mengantisipasi kerumunan di waktu-waktu krusial.

Inilah cerita tentang mobilitas: ketika masyarakat memilih "jegleg" ambil kunci motor untuk menjelajah seantero pulau, namun sekaligus menunggu dengan sabar sebuah wahana massal yang bisa mengangkut berjuta harapan—dari Denpasar menuju Bandara Ngurah Rai, dari Gianyar menuju Jembrana, menata kembali ritme kehidupan.

Dalam kisah ini, setiap kilometer yang dilalui menjadi lirik puisi yang menceritakan pertemuan antara kepraktisan dan idealisme, antara jiwa yang merdeka dan kebutuhan kolektif yang tak terelakkan untuk mengurai kemacetan.

Paradoks transportasi ini mengajarkan bahwa seiring berjalannya waktu, inovasi dan kebijaksanaan harus berdansa selaras, sehingga jalanan Bali tidak hanya menjadi penampung kendaraan, tetapi juga menjadi panggung peradaban di mana setiap langkah dan putaran roda menyatu dalam simfoni harmoni kota yang nyaman, aman dan berkesan.

Begitulah, dalam dunia paradoks yang senantiasa menantang logika dan harapan, Bali menulis puisi tentang angkutan: bukan semata-mata soal "pergi" atau "pulang," melainkan tentang menjalin perjalanan yang tidak hanya menghubungkan titik-titik di peta, tapi juga menganyam benang-benang kehidupan dalam ritme yang penuh makna dan cita rasa wisata yang mengesankan. 

Sumber :
Wayan Suyadnya

KALI DIBACA