
Bali, Warta Global. Id
23/6/2025
Gagasan “Bali Merdeka” atau kemandirian Bali sebagai sebuah entitas politik dan ekonomi telah menjadi wacana publik yang mengundang beragam respons. Dalam perspektif akademik, isu ini menuntut analisis mendalam berbasis data, sejarah, konstitusi, dan geopolitik.
Bali dikenal sebagai pulau kecil dengan pengaruh budaya yang besar, khususnya dalam bidang pariwisata global. Pulau ini telah lama menjadi ikon Indonesia di mata dunia, berkat keunikan tradisi, agama, seni, dan keramahan penduduknya.
Namun demikian, ketergantungan Bali terhadap sektor pariwisata global menimbulkan kerentanan struktural, sebagaimana terlihat saat pandemi COVID-19 yang menyebabkan ekonomi Bali terkontraksi tajam hingga minus dua digit.
Wacana kemandirian Bali muncul sebagai reaksi terhadap ketimpangan pembangunan dan persepsi dominasi pusat atas daerah. Dalam konteks ini, beberapa kalangan menganggap bahwa otonomi daerah yang ada belum memberikan ruang cukup bagi Bali untuk menentukan arah pembangunannya sendiri.
Secara historis, Bali adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri sendiri dengan struktur sosial-politik berbasis adat dan agama Hindu. Sistem ini masih eksis dalam bentuk desa adat, yang menjadi bagian integral dalam tata kehidupan masyarakat Bali.
Keberadaan desa adat inilah yang memperkuat argumen bahwa Bali memiliki sistem sosial yang kokoh dan berakar dalam budaya lokal, sehingga mampu menjadi fondasi bagi kemandirian, baik secara administratif maupun ideologis.
Meski demikian, gagasan “Bali Merdeka” tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas hukum dan politik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan UUD 1945 menolak bentuk separatisme atau pemisahan wilayah.
Dari sisi konstitusional, upaya pemisahan atau pembentukan negara sendiri oleh suatu provinsi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan dapat memicu tindakan represif dari negara.
Maka pertanyaannya bukan sekadar apakah Bali mampu merdeka, tetapi apakah langkah tersebut bijak secara strategis, ekonomis, dan kultural. Lebih dari itu, bagaimana potensi dan risiko Bali jika memisahkan diri dari NKRI?

Secara ekonomi, Bali memang memiliki potensi besar dari sektor pariwisata, pertanian organik, perikanan, dan industri kreatif. Namun, potensi itu masih sangat bergantung pada konektivitas global dan relasi antarwilayah di Indonesia.
Jika Bali memisahkan diri, ia harus membentuk struktur pemerintahan sendiri, membangun sistem pertahanan dan keamanan nasionalnya sendiri, serta menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan luar negeri tanpa dukungan pemerintah pusat.
Hal ini tentu menuntut pembiayaan besar dan kesiapan infrastruktur kelembagaan yang saat ini belum sepenuhnya tersedia. Tanpa kesiapan itu, Bali berisiko mengalami kegagalan sistemik dalam pengelolaan negara.
Selain itu, tantangan demografis juga menjadi sorotan. Bali memiliki jumlah penduduk yang relatif kecil dengan rasio produktivitas yang sangat tergantung pada sektor jasa, khususnya pariwisata. Ketimpangan ini berpotensi menciptakan krisis ketenagakerjaan jika konektivitas global terganggu.
Di sisi lain, ada peluang bagi Bali untuk menjadi negara kecil yang fokus pada pariwisata dan budaya seperti Monaco, Bhutan, atau Maladewa. Negara-negara tersebut terbukti mampu bertahan secara ekonomi berkat spesialisasi dan branding yang kuat.
Namun, mereka berhasil karena stabilitas politik dalam negeri, investasi asing yang besar, dan kebijakan ekonomi makro yang matang. Apakah Bali memiliki prasyarat tersebut? Inilah pertanyaan kritis yang harus dijawab secara akademis dan strategis.
Keunikan Bali yang berbasis agama Hindu juga bisa menjadi kekuatan atau kelemahan. Di satu sisi, ia memberi identitas yang khas; di sisi lain, ia bisa memicu konflik internal atau eksternal dalam konteks keberagaman Indonesia.
Selain itu, jika Bali berdiri sendiri, pertanyaan tentang status warga non-Bali dan pendatang dari provinsi lain harus dijawab dengan kebijakan yang adil dan inklusif agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial.
Dalam konteks regional ASEAN, Bali akan menghadapi tantangan diplomatik. Indonesia sebagai negara anggota ASEAN memiliki peran penting, dan jika Bali menjadi entitas terpisah, ia harus memulai dari nol dalam membangun jaringan regional dan internasional.
Dalam bidang keamanan, Bali saat ini dijaga oleh struktur militer dan kepolisian nasional. Pemisahan diri akan menuntut pembentukan tentara, intelijen, dan sistem keamanan internal yang memadai. Tanpa itu, Bali berisiko menjadi target instabilitas.
Secara administratif, Bali juga masih sangat tergantung pada transfer dana pusat, baik berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Desa. Tanpa pendanaan tersebut, program pembangunan bisa stagnan.
Dari sisi lingkungan, Bali juga menghadapi tantangan serius seperti krisis air bersih, pencemaran laut, dan konversi lahan yang masif. Kemandirian politik tidak serta merta menyelesaikan persoalan ekologis ini tanpa intervensi kebijakan nasional.
Ada pula persoalan hukum dan perundang-undangan. Jika Bali menjadi negara sendiri, maka ia harus menyusun konstitusi baru, sistem hukum, lembaga yudisial, dan perangkat birokrasi dari nol. Ini bukan proses yang mudah, cepat, dan murah.
Selain itu, daya saing sumber daya manusia di Bali masih perlu ditingkatkan. Pendidikan, kesehatan, dan inovasi teknologi menjadi syarat utama negara maju. Tanpa SDM unggul, negara Bali yang merdeka bisa tertinggal dibandingkan negara-negara tetangganya.
Dalam konteks budaya, memang Bali memiliki keunggulan warisan budaya tak benda dunia yang diakui UNESCO. Namun pelestarian budaya dalam kerangka negara sendiri membutuhkan regulasi dan investasi besar.
Aspek perbankan dan moneter juga tak kalah penting. Bali harus memiliki bank sentral, sistem pembayaran, kebijakan fiskal dan moneter sendiri. Dalam realitas ekonomi saat ini, ini adalah tantangan yang sangat berat.
Dunia usaha juga akan terpengaruh. Investasi asing mungkin enggan masuk ke Bali yang tidak stabil secara politik. Kepastian hukum dan perlindungan investasi adalah fondasi yang harus dibangun terlebih dahulu.
Sementara itu, kemungkinan embargo, isolasi ekonomi, atau sanksi diplomatik bisa saja terjadi jika Bali dianggap melawan hukum internasional atau nasional dalam proses memisahkan diri dari Indonesia.
Secara sosial, kemungkinan konflik antarkelompok bisa meningkat. Ketegangan antara kelompok adat dan kelompok nasionalis, atau antara pemuda desa dan urban, bisa menimbulkan friksi berkepanjangan.
Oleh karena itu, pendekatan akademik terhadap wacana “Bali Merdeka” harus berbasis multidisipliner, mencakup analisis hukum, politik, ekonomi, budaya, dan sosiologis secara holistik.
Tidak bisa hanya menggunakan pendekatan emosional, romantisme sejarah, atau frustrasi terhadap kebijakan pusat. Kemandirian daerah harus diletakkan dalam kerangka demokrasi dan integrasi nasional.
Sebagai alternatif, mungkin yang lebih realistis adalah memperkuat status Bali sebagai Daerah Istimewa berbasis adat dan budaya, serupa Yogyakarta, yang memberi ruang lebih luas untuk otonomi pengambilan keputusan lokal.
Dengan status istimewa tersebut, Bali dapat mengelola kekhasan hukumnya, anggaran budayanya, serta membangun sistem pendidikan dan ekonomi berbasis kearifan lokal.
Model ini lebih konstruktif dan tidak menimbulkan konflik dengan pusat. Apalagi, Bali memiliki kekuatan diplomasi budaya yang sangat besar untuk menjadi wajah Indonesia di panggung internasional.
Dalam konteks geopolitik, stabilitas nasional lebih penting daripada kepentingan sektoral. Pemerintah pusat pun harus mendengar suara daerah dan memberi ruang dialog yang setara.
Oleh karena itu, pemerintah pusat sebaiknya tidak memandang aspirasi kemandirian Bali sebagai ancaman, tetapi sebagai sinyal perlunya reformasi dalam relasi pusat-daerah.
Masyarakat Bali juga perlu membuka ruang diskusi kritis dan rasional tentang masa depan daerahnya. Emosi tidak bisa menjadi fondasi negara yang berdaulat.
Kaum akademisi, budayawan, dan tokoh masyarakat Bali mesti menjadi penengah dan pemberi arah agar wacana ini tidak dibajak oleh kelompok ekstremis atau oportunis.
Tentu saja, cinta pada Bali tidak berarti harus menolak Indonesia. Justru dalam bingkai Indonesia yang adil dan setara, Bali bisa berkembang menjadi lebih jaya.
Pilihan “merdeka” mungkin terdengar heroik, namun implikasinya sangat kompleks. Di sinilah pentingnya berpikir jauh ke depan, menyeluruh, dan realistis.
Dengan memperkuat otonomi substantif, meningkatkan kapasitas lokal, dan membangun relasi simetris dengan pusat, Bali tidak perlu memisahkan diri untuk menjadi jaya. Sebab, menjadi bagian dari Indonesia bukan penghalang untuk berjaya asal dikelola dengan adil dan bijaksana.
Sumber Gus Benk
Butet
KALI DIBACA