
Oknum Pejabat Tersesat di Medsos
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
Bali Indonesia 21/11/2025, WartaGlobalBali. Id
Di antara hiruk-pikuk kreativitas dan harmoni budaya, ada satu paradoks yang menghentak seperti gamelan yang dipukul sumbang: adanya oknum anggota DPD RI dapil Bali yang lebih sering terlihat keluar-masuk media sosial daripada keluar-masuk ruang lobi, rapat, atau meja perundingan di pusat kekuasaan.
Ia menjadikan media sosial sebagai panggung utama, bukan untuk menjelaskan, meluruskan, atau mengabarkan perjuangannya. Tidak. Ia justru bertanya pada publik, pada keramaian maya—tentang hal-hal yang seharusnya justru ia harus jawab sebagai pejabat negara.
Semakin ia tampil, semakin kentara bahwa penampilannya adalah topeng yang terlalu tipis: memperlihatkan kekosongan pengetahuan, menunjukkan bahwa ia tidak paham apa yang menjadi tugas, fungsi, bahkan makna keberadaannya sebagai wakil daerah di lembaga bernama DPD RI.
Ironisnya, semakin ia berisik di dunia maya, semakin jelas ia sunyi di dunia nyata. Lobi tak terdengar, perjuangan tak terlihat, jaringan sesama anggota pun tampak hambar—seperti seseorang yang duduk di meja perundingan tetapi tak ada kursi yang disediakan untuknya, karena tak ada yang benar-benar menganggapinya.
Padahal ia wakil daerah di pusat. Kata yang sederhana, tetapi dengan beban tanggung jawab yang besar: memperjuangkan kepentingan Bali di pusat, menyuarakan ketimpangan perimbangan keuangan pusat-daerah, mendesakkan pemerataan pembangunan, mengawal kebijakan pusat yang berdampak bagi daerah. Bukan mengerjakan pekerjaan camat, bupati, gubernur apalagi yang menjadi pekerjaan teknis dan tanggung jawab OPD. Bukan mondar-mandir ke sekolah mengurus guru dan siswa, seakan-akan ia pegawai dinas pendidikan.
Kalau pun ingin masuk ke sekolah, mestinya ia memperjuangkan MBG untuk seluruh Bali, bukan ber-selfie ria, apalagi menyampaikan seks bebas dan perilaku menyimpang yang membahayakan peserta didik, atau pamer tongkat tebar pesona di gerbang sekolah. Tidak demikian. Kalau bicara pendidikan, mestinya ia menyoal dana BOS yang kurang, bukan menyodorkan solusi teknis ala tukang plaster.
Kalau anggota DPD RI bicara pariwisata, mestinya ia melobi agar pungutan wisatawan asing bisa otomatis terintegrasi dengan tiket pesawat—seperti PJP2U—misalnya, itu dia perjuangkan agar tak ada kebocoran dan Bali mendapat haknya dengan baik. Kalau bicara pusat, mestinya ia menembus pintu kementerian, bukan pintu komentar di Instagram.
Karena tak paham, ia malah sibuk pada hal yang tidak-tidak—tidong-tidong, kata orang Bali. Tersesat di lorong sempit pekerjaan teknis yang sudah ditangani daerah. Terseret arus pencitraan seolah-olah bekerja. Terkecoh oleh gemerlap layar ponsel, lupa bahwa panggung sejatinya justru berada jauh dari riuh medsos.
Yang lebih memalukan, ia mencantumkan dirinya sebagai senator. Seakan-akan kata itu hanya label yang bisa ditempel seperti stiker.
Ketika ditanya dasar hukumnya, ia menjawab: “Banyak yang pakai.” Hehehhehe, jawaban yang menggelikan, seperti anak kecil yang berkata, “Teman-teman juga begitu kok.”
Padahal, kalau ia membaca sejarah sebelum amandemen, ia akan tahu bahwa utusan daerah di MPR pada masa lalu bukanlah “senator” versi instan. Ada konteks, ada kerangka konstitusi, ada konsep lembaga yang jelas. Tapi apa daya, ketidaktahuan yang ditutup-tutupi justru semakin mempermalukan.
Inilah paradoks hari ini: budaya yang begitu halus dan cerdas, tetapi memiliki wakil di pusat yang justru mengikis marwah lembaganya sendiri. DPD RI, yang mestinya menjadi penyuara keadilan daerah, dipermainkan oleh oknum-oknum yang menjadikan jabatan sebagai panggung konten.
Lalu apa jadinya Bali jika wakilnya hanya sibuk bertanya di media sosial, sementara persoalan pusat yang berdampak pada daerah justru menumpuk tanpa diperjuangkan?
Inilah dunia paradoks kita: ketika wakil daerah merasa bekerja hanya karena tampil di layar, padahal realitas bekerja justru berlangsung jauh dari cahaya ringlight—di ruang lobi, ruang rapat, dan ruang-ruang sunyi tempat kepentingan daerah mestinya diperjuangkan.
Dan selama yang seperti itu masih sibuk dengan yang tidong-tidong, Bali hanya bisa berharap bahwa suara sejatinya tak tenggelam oleh kebisingan kosong seorang wakil yang terus menerus tersesat di rimbanya medsos.
Singaraja, 21 November 2025
KALI DIBACA

