
Jakarta, [WartaGlobal.Id],22/9/2025 (https://www.wartaglobal.id) – Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 287 K/Pid/2019 yang menghukum Silfester Matutina dengan pidana 1 tahun 6 bulan seharusnya sudah selesai sejak lama. Namun hingga 19 September 2025, lebih dari enam tahun setelah vonis dijatuhkan, eksekusi tak kunjung dilakukan. Alih-alih masuk penjara, Silfester justru bebas beraktivitas, tampil di media, bahkan sempat dilantik Erick Thohir sebagai Komisaris PT Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food).
Fakta ini dinilai publik sebagai pelecehan telanjang terhadap hukum. Bagaimana mungkin seorang terpidana bisa menduduki jabatan penting di BUMN dan berkeliaran tanpa hambatan?
Kejaksaan Agung pada awal September 2025 kembali memerintahkan Kejari Jakarta Selatan mengeksekusi putusan tersebut. Namun upaya itu kandas, dengan alasan klasik: sakit, hilang, hingga keberadaan tak jelas. Dalih serupa pernah muncul pada 2019, ditambah alasan pandemi Covid-19. Mantan Kajari Jaksel kala itu, Anang Supriatna, yang kini menjabat Kapuspenkum Kejagung, justru tak mampu menjelaskan secara gamblang kenapa eksekusi gagal lagi.
Situasi ini semakin menguatkan dugaan adanya perlindungan politik. Silfester, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), dikenal sebagai pendukung setia Presiden Joko Widodo. Publik menilai hubungan politik inilah yang membuat Silfester seakan kebal hukum. “Jangan-jangan ia lebih aman dilindungi di lingkaran kekuasaan ketimbang di balik jeruji besi,” sindir seorang aktivis hukum.
Kasus ini pun menambah daftar panjang kompromi hukum yang mencoreng wajah Indonesia: dari isu ijazah Jokowi, tragedi KM 50, praktik nepotisme, hingga dugaan korupsi dan kecurangan pemilu. Indonesia, yang di atas kertas disebut *rechtsstaat* (negara hukum), dalam praktiknya kian mirip *machtsstaat* (negara kekuasaan).
Kritik keras diarahkan kepada Jaksa Agung ST Burhanudin. Publik menilai ia gagal menegakkan putusan pengadilan dan lebih tunduk pada kepentingan politik. “Jika Silfester dibiarkan, ST Burhanudin layak dicap Jaksa Agung cemen,” ujar seorang pakar hukum pidana.
Namun sorotan tak berhenti di sana. Presiden Prabowo juga dinilai bisa ikut tercemar bila membiarkan permainan hukum ini terus berlangsung. Pasal 7A UUD 1945 secara tegas membuka peluang pemakzulan bila presiden dianggap melanggar konstitusi dan membiarkan hukum dipermainkan.
Pilihan tegas kini ada di tangan pemerintah. Tangkap dan penjarakan Silfester Matutina sesuai putusan MA, atau copot Jaksa Agung. Jika keduanya tak dilakukan, publik berhak mendesak langkah lebih jauh: meminta Presiden sendiri turun dari jabatannya.
“Negara ini tidak boleh dibiarkan dipimpin oleh pejabat yang memperlakukan hukum sebagai dagangan politik. Jika dibiarkan, kepercayaan rakyat pada negara akan ambruk total,” tegas seorang tokoh masyarakat sipil.
KALI DIBACA