Cermin Retak Pendidikan Di Indonesia - Warta Global Bali

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

Cermin Retak Pendidikan Di Indonesia

Saturday, 6 September 2025



 
Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) 2019-2024 Nadiem Makarim (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai pemeriksaan di Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/9/2025). Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem Chromebook di Kemendikbudristek dan ditaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp1,9 triliun
Bali Indonesia, 7/9/2025 WartaGlobak. Id
Mantan Menteri Pendidikan, Nadien Makarim, tersangka korupsi. Kalimat itu saja sudah cukup membuat dada sesak. 

Bagaimana mungkin seorang menteri pendidikan—yang semestinya menjadi teladan moral, yang mengajarkan kejujuran, disiplin, dan kecerdasan—justru menjadi simbol kebusukan kekuasaan?

Pendidikan yang mestinya menumbuhkan generasi jujur, dipimpin oleh sosok yang gagal menjaga dirinya sendiri.

Tetapi inilah wajah telanjang bangsa kita. Korupsi bukan lagi aib, ia telah menjadi budaya. 

Ia tak hanya tumbuh di gedung-gedung kementerian, tetapi juga di ruang kelas, di pasar, di jalanan. 

Dari jatah pembangunan desa yang digerogoti, hingga uang saku anak sekolah yang dikorupsi warung kecil dengan timbangan tak adil. 

Korupsi nyaris ada di mana-mana, seperti jamur yang tumbuh di tanah becek kebiasaan buruk.

Dulu, di era Orde Baru, wajah menteri pendidikan adalah simbol yang ditempel di dinding kelas. Ia adalah guru walau tak pernah mengajar di kelas.

Kita mengenal Daoed Joesoef, Nugroho Notosusanto, Fuad Hassan, Wardiman Djojonegoro.  Mereka selalu tampil gagah dengan jas, dasi, dan rambut tersisir rapi.

Nama-nama itu kita hafal, bahkan dijadikan teladan diam-diam. Banyak anak sekolah ketika itu bercita-cita menjadi menteri, karena menteri adalah simbol kehormatan.

Kini, di era reformasi, wajah menteri lebih sering menghiasi layar televisi bukan karena prestasi, melainkan karena status “tersangka.” KPK menjadi hakim moral baru yang mengejar mereka satu per satu. 

Menteri kehilangan kehormatan. Jabatan tak lagi melahirkan teladan, melainkan daftar tunggu menuju jeruji besi.

Di Bali, daftar itu panjang. Mantan Bupati Jembrana Winasa, mantan Bupati Buleleng Putu Bagiada, mantan Bupati Klungkung Wayan Candra, mantan Bupati Tabanan Eka Wiryastuti, mantan Bupati  Bangli Arnawa, hingga mantan  Bupati Karangasem Sumantara—satu per satu dijebloskan ke jeruji besi. Semua di era reformasi.

Reformasi yang dulu dijanjikan sebagai jalan keluar dari tirani, justru membuka ruang luas bagi korupsi berjamaah. 

Apa yang dulu dianggap penyakit Orde Baru, kini menjelma epidemi di era reformasi.

Paradoksnya, kita bangsa yang gemar bicara tentang moral, tapi seakan menikmati pesta korupsi.

Kita marah sebentar saat membaca berita, lalu lupa. Kita menyalahkan pejabat, tetapi diam-diam menutup mata ketika praktik kecil korupsi terjadi di sekitar kita. 


Kita mencaci menteri yang korup, tapi dengan ringan membenarkan kebiasaan sekolah melakukan pungutan, sumbangan atau iuran atas nama komite sekolah.

Seakan korupsi itu tak lagi kotor, melainkan hanya biaya tambahan hidup di negeri ini, bahkan dianggap "rezeki".

Maka, ketika menteri pendidikan menjadi tersangka, sesungguhnya itu bukan hanya salah dia. Itu juga cermin kita. Cermin bangsa yang membiarkan pendidikan kehilangan rohnya. 

Pendidikan direduksi jadi proyek, jadi program, jadi angka-angka statistik—bukan lagi perjuangan membentuk manusia berintegritas.

Apalah artinya “Merdeka Belajar” jika sang menterinya terpenjara karena rakus? 

Apalah artinya kurikulum baru jika di baliknya hanya jadi ladang basah korupsi?

Apalah artinya jargon moral jika kita sendiri, sebagai bangsa, tak pernah benar-benar jujur pada diri sendiri?

Korupsi menteri pendidikan bukan sekadar skandal, ia adalah tragedi. 

Tragedi bangsa yang gagal menjadikan pendidikan sebagai benteng moral, dan malah membiarkannya jadi pasar proyek yang penuh kerakusan.

Sumber : Wayan Suyadnya

KALI DIBACA