
Denpasar Bali,13 Desember 2025 , WartaGlobal. Id
Bayangkan anak berusia 13 tahun, seharusnya sibuk bermain game atau belajar, malah menyerap doktrin radikal di balik layar ponselnya. Itulah kenyataan mengerikan yang diungkap Densus 88 Mabes Polri bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pada 18 November lalu, mereka berhasil menyelamatkan 110 anak dari 25 provinsi, termasuk dua bocah Bali berusia 13 dan 14 tahun, yang terpapar paham intoleransi melalui grup WhatsApp misterius.
Pengungkapan ini disampaikan Kasatgaswil Bali Densus 88 Antiteror, Kombes Pol Antonius Agus Rahmanto, S.I.K., M.Si., dalam workshop "Pencegahan, Penanganan, dan Reintegrasi Anak Terpapar Paham Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme" di Denpasar, Kamis (11/12). Acara yang digagas Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bali bersama Densus 88, HIMPSI, dan APSIFOR Bali ini menjadi panggung peringatan keras: radikalisme kini merangsek ke dunia anak-anak rentan."Itu indikator awal yang tidak bisa diremehkan," tegas Kombes Antonius.
Kedua anak Bali ini, bagian dari jaringan nasional, sudah menunjukkan "niat serius" menurut perspektif kepolisian. Mereka tergabung dalam grup WA yang dikelola lima orang dewasa—kini tersangka—penuh konten provokatif, pengajaran sesat, dan ajaran menuju jaringan teroris. "Anak-anak ini kita selamatkan dari paparan tersebut," tambahnya mantap.
Pola radikalisasi tak lagi sekadar agama, tapi bergeser ke ekstremisme kekerasan, mirip kasus heboh SMA 72 Jakarta. Di Bali, ditemukan dua model: satu seperti ekstremisme SMA 72, satunya radikalisme berbasis agama. Akarnya sama: korban bullying, antisosial, kurang perhatian keluarga.
"Mayoritas orang tua dari 110 anak itu tak tahu aktivitas radikal anaknya," ungkap perwira melati tiga ini.Semua bermula dari pencarian polos di medsos dan internet. Anak bertanya soal hal sensitif, tak dapat jawaban dari orang tua, lalu terseret ke channel radikal, ditarik ke grup privat, dan didoktrin oleh "ahli" beritikad buruk. "Prosesnya halus dan sistematis. Anak usia 10 tahun pun cepat paham jika dari sosok dipercaya," jelasnya.
Bagi Kombes Antonius, ini bukan sekadar alarm, tapi "alarm bahaya".Kini, Densus 88 gandeng sekolah, desa adat, dinas pendidikan, psikolog, dan stakeholder lain susun sistem respons cepat. "Bukan tanggung jawab sekolah atau keluarga saja, tapi semua. Kita rumuskan: siapa lakukan apa saat gejala muncul, agar penanganan cepat, sistematis, tak keroyokan," ujarnya.Status hukum jelas: anak-anak ini korban, bukan tersangka. UU Terorisme mewajibkan negara selamatkan, rehabilitasi, dan deradikalisasi mereka.
Ketua KPAD Bali, Ni Luh Gede Yastini, menegaskan hal serupa. Kedua anak Bali punya pemahaman berbeda, tapi identitas dan lokasi tinggal dirahasiakan demi keamanan. "Mereka sudah dapat deradikalisasi, pembinaan, pengawasan oleh Densus 88, KPAD, psikolog. Pendampingan juga ke keluarga, re-edukasi soal kebhinekaan, anti-kekerasan, wawasan kebangsaan.
"Yastini menekankan: pendekatan khusus untuk kasus ini, dengan re-edukasi berkelanjutan agar anak aman dan nyaman. Workshop ini jadi panggilan aksi kolektif: lindungi generasi muda dari jerat digital ekstremis sebelum terlambat
KALI DIBACA

