Netti Herawati " Benarkah 2024 Polda NTT Serasa Polda Sumut Di Penerimaan Akpol - WARTA GLOBAL BALI

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Berita Update Terbaru

logoblog

Netti Herawati " Benarkah 2024 Polda NTT Serasa Polda Sumut Di Penerimaan Akpol

Thursday 11 July 2024


WartaGlobal Bali.id
Pada tanggal 3 Juli 2024 yang lalu, Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur menggelar sidang akhir untuk menentukan kelulusan calon taruna Akademi Kepolisian (Akpol) dalam Panitia Daerah (Panda) Polda NTT untuk tahun ajaran 2024. Ada 11 Calon Taruna asal Polda NTT yang dinyatakan lolos yakni: Yudhina Nasyawa Olivia (wanita), Arvid Theodore Situmeang, Reynold Arjuna Hutabarian, Mario Christian Bernalo Tafui, Bintang Lijaya, Ketut Asya Adityanatha, Brian Lee Sebastian Manurung, Timothy Abishai Silitonga, Mochammad Rizq Sanika Marzuki, Madison Juan Raphael Kana Silalahi, Lucky Nuralamsyah.  
*Reaksi Publik*

Sepintas tidak ada yang aneh dari 11 Casis Taruna Akpol asal Polda NTT ini sejak dinyatakan lulus tanggal 3 Juli 2024 lalu. Semuanya berjalan wajar tanpa reaksi berlebihan. Baru kemarin, 6 Juli 2024 publik NTT mulai memberikan respons dan akhirnya kelulusan 11 casis ini menjadi viral dan trending topik di NTT. Diperbincangkan dan didiskusikan di berbagai platform sosial media: facebook, WA group, tiktok, youtube, instragram dan media berita online. Kemudian hal ini menjadi atensi banyak rakyat, termasuk wakil rakyat NTT.

Apa sih pemicu reaksi publik NTT itu? Dari pantauan sosial media, saya mendiagnosa beberapa faktor pemicu. *Pertama*, orang NTT merasa heran, merasa aneh dan menduga ada yang tidak beres. Dari 11 casis taruna Akpol itu, diidentifikasi yang namanya mengkonteks sesuai nama asli NTT, marga orang NTT hanya 1 orang, yakni casis atas nama Mario Christian Bernalo Tafui. Nama keluarga Tafui itu merujuk ke nama marga orang Timor. Jelas. Lalu, dari 11 casis itu, 5 orang casis bermarga Batak yakni Situmeang, Hutabarian, Manurung, Silitonga dan Silalahi. Seorang casis atas nama Ketut Arya dipastikan bermarga Bali. Sedangkan 4 casis lainnya yakni Yudhina Nasyawa Olivia, Bintang Lijaya, Mochammad Rizq Sanika Marazuki dan Lucky Nuralamsyah jelas tidak memikul marga NTTdan kemungkinan besar bukan anak NTT.

Maka pertanyaan publik adalah mengapa kuota Casis asal Polda NTT hanya menerima 1 casis yang adalah anak asli NTT? Mengapa justru jatah casis Polda NTT diisi oleh yang bukan anak asli NTT? Apakah anak-anak NTT tidak ada yang bagus fisiknya, bagus otaknya, bagus wataknya sehingga sulit lolos dan lulus dalam penerimaan casis Akpol ini? Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian melahirkan asumsi publik yang beragam. Tidak heran di sosmed ada yang bilang, ini casis Polda NTT rasa Polda Sumut.


*Kedua*, oleh kondisi seperti yang saya uraikan di poin pertama, serta-merta munculah akronim baru tentang NTT. Apa itu? NTT diplesetkan sebagai Nusa Tempat Titip. Ada juga yang menyebutnya, Numpang Titip Taruna. Malah ada yang bilang begini, jangan-jangan karena NTT dipuja-puji sebagai Nusa Tertinggi Toleransi, lalu NTT bisa direkayasa menjadi Nusa Tempat Titip dan Numpang Titip Taruna. Apakah justru karena kita NTT terlalu toleran? Sangat miris dan memprihatinkan bila NTT hanya menjadi tempat penitipan taruna. Jatah yang seharusnya diisi oleh anak-anak asli Flobamorata, justru diambil dan anak-anak dari luar NTT yang dititipkan.

*Ketiga*, dalam ramai diskursus publik soal 11 casis akpol ini, muncul juga 1 terminologi baru, naturalisasi. Ternyata naturalisasi tidak hanya terjadi di lapangan hijau alias dunia sepak bola. Diduga, naturalisasi sudah cukup lama terjadi juga di lapangan coklat dalam urusan-urusan penerimaan casis Taruna Akpol. Naturalisasi dalam sepak bola itu bisa menjadikan pemain sepak bola dari Belanda membela tim nasional Indonesia. Nah, naturalisasi di lapangan coklat bisa menjadikan anak-anak dari luar NTT sebagai casis Taruna Akpol asal Polda NTT. Yang mirisnya, jatah casis taruna Akpol untuk NTT sudah sedikit, eh malah diberi ruang lebih besar bagi casis naturalisasi.

Mari kita lihat data. Casis Taruna Akpol Polda NTT tahun 2022, kuota 6 orang, tidak ada satupun anak asli NTT. Sebaliknya, untuk tahun 2023, dari 8 casis taruna Akpol, semua anak NTT karena benar-benar diperjuangkan oleh Kapolda NTT yang memang putra daerah NTT. Tahun ini malah kembali ke titik nol. Ini seperti semakin membenarkan NTT sebagai Numpang Titip Taruna.

*Slogan Presisi*

Terhadap berbagai riak-riak protes, kekecewaan, dan kritik publik soal penerimaan 11 casis taruna tahun 2024, seperti biasa Pihak Polda NTT merespon dengan biasa. Intinya, penerimaan casis taruna Akpol ini terbuka untuk semua orang dari seluruh Indonesia raya, dilaksanakan secara transparan, melibatkan pengawas internal dan eksternal, protapnya ketat dan presisi. Jadi, yang lolos dan lulus ini adalah benar-benar mereka yang terpilih sesuai perangkingan setelah mengikuti serangkaian tes: fisik, akademik, kesehatan, psikotes, dll.

Kalau penjelasannya seperti di atas, itu namanya presisi yang biasa saja. Kita butuh aksi presisi yang dilaksanakan secara luar biasa. Kita butuh presisi yang berkeadilan. Karena Presisi itu akronim dari Prediktif, Responsibilitas, Transparansi dan Berkeadilan. Presisi Kapolri yang berkeadilan harus tercermin dari realitas memberikan rasa keadilan bagi Nusa Tenggara Timur dalam hal penerimaan casis taruna Akpol. Berkeadilan itu berarti memberikan apa yang menjadi hak anak NTT kepada anak NTT. Kuota 11 casis taruna Akpol itu harus untuk anak-anak NTT. Kalaupun dari 11 casis, 6 atau 7 dari NTT, itu masih wajar. Namun, jika dari 11 kuota, casis asal NTT cuma 1 orang, atau dari 6 kuota dan tidak satupun anak NTT, itu namanya sungguh keterlaluan dan sangat tidak berkeadilan. Itu mempermalukan kedaulatan rakyat NTT.

Wajar kalau publik NTT menggugat, apakah tidak ada anak-anak NTT yang mengikuti seleksi Casis Taruna Akpol 2024? Kalau banyak yang ikut, apakah yang banyak itu memang otaknya eror, fisiknya parah dan wataknya rusak sehingga tidak bisa lolos dan lulus? Saya sangat yakin banyak anak NTT yang saat ini menjadi polisi dan mereka memiliki kemampuan otak yang cemerlang, fisik bagus dan akhlak terpuji dan karena itu mau ikut seleksi casis taruna Akpol. Tetapi kalau dari yang banyak itu, banyak yang tidak lulus dan hanya 1 saja, maka menjadi pertanyaan publik, mengapa dan mengapa?

Di akun sosmed saya, ada yang berkomentar, jangan-jangan karena anak-anak NTT tidak ada ‘ordal’ (orang dalam) atau mungkin saja karena tidak mempunyai duit yang banyak. Sebagai asumsi, bisa-bisa saja. Maklum berkembang info sesat di masyarakat bahwa kalau mau masuk jadi casis taruna Akpol harus siapkan uang banyak. Ini info yang keterlaluan, tidak sesuai spirit presisi.

Ada juga yang mengomentari sosmed saya begini. NTT beda dengan Papua. Di Papua, mereka tegas soal jatah putra daerah. Tidak bisa dipermainkan dan diisi oleh yang titipan atau naturalisasi. Rupanya NTT terlanjur jadi Nusa Tertinggi Toleransi. Dari dulu kita terlalu toleran, bahkan terhadap apa yang menjadi hak kita anak-anak NTT. Jangan heran jika kaderisasi anak-anak NTT di level perwira polisi kurang berjalan bagus. Jangan heran juga kalau tidak banyak anak NTT yang memegang jabatan-jabatan strategis di kepolisian. Mengapa? Yah karena pintu masuk untuk itu melalui casis taruna Akpol dibatasi bahkan diisi oleh titipan-titipan atau yang naturalisasi. Itu pulalah yang membuat stok anak NTT di perwira menengah hingga perwira tinggi sangat terbatas.

Lalu kita bisa bikin apa? Menurut pihak Polda NTT, hasil penerimaan casis taruna Akpol 2024 tidak bisa dibatalkan lagi. Tidak ada yang bisa intervensi lagi. Namun, bagi saya kalau mau supaya keadilan itu ditegakkan bagi NTT, maka bisa saja yang ada tidak dibatalkan tetapi ditambah kuota untuk anak-anak asli NTT. Praktik kurang baik harus dikoreksi. Maka, kita orang-orang NTT harus terus bersuara dan berani bersuara menyikapi ini. Kiranya kritik konstruktif rakyat terhadap persoalan ini menjadi gelombang besar yang menggetarkan istana Presiden Jokowi dan menggetarkan ruang kerja Kapolri.

Kita juga berharap ini mengguncangkan kantor anggota DPR RI asal NTT di Senayan sana. Sekarang memang musim Pilkada. Tetapi, sebagai wakil rakyat di Senayan dimohon teriak juga soal ini lebih kencang. Komisi III DPR bisa panggil Kapolri untuk pertanggungjawabkan ini. Sebagai wakil rakyat NTT, berjuanglah agar NTT mendapat kuota afirmasi. Kalau Papua bisa, mengapa kita tidak bisa? Dengan itu ada kepastian bagi anak-anak NTT untuk menyusuri jalur Akpol. Wakil rakyat jangan terlalu diam. Yang macam begini, berdoa saja tidak cukup. Harus berteriak di parlemen, mungkin juga berorasi di depan istana. Pola naturalisasi ini sudah berlangsung lama. Jika tidak ada upaya mitigasi serius, ini jadi bencana bagi NTT dan kita bakal panen kerugian di waktu-waktu ke depan.

Sekaligus, peristiwa ini menjadi bahan refleksi untuk kita orang NTT. Jika ada anak-anak kita yang mau menjadi polisi, persiapkan mereka. Jaga fisik dan latihan fisik teratur, tingkatkan kecerdasan dan kelola akhlak. Jangan sampai cita-cita mau jadi polisi tetapi malas olahraga, IQ jongkok, minum mabuk dan pola hidup tidak teratur. Begitu juga kalau ada anak-anak kita yang mau masuk Akpol, harus rutin latihan fisik, belajar dan tata otak, jaga akhlak dan poles watak. Tanpa persiapan-persiapan semacam ini, tak bijak jika kita hanya mempersalahkan pihak lain. Mungkin saja mereka lebih siap, maka mereka lolos dan lulus. 

Mari kita jadikan NTT: Nusa Tolak Takdir, termasuk yang ditakdirkan sebagai tempat titipan taruna atau tempat numpang pemain naturalisasi. Yah, semoga dengan hadirnya Presiden baru nanti, pola-pola lama ini dievaluasi dan dikoreksi demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Nusa Tenggara Timur. Salam presisi!

Sumber : Isidorus Lilijawa
(Politisi Gerindra)

KALI DIBACA