Kopi Pahit : Wartawan vs Warganet Terukur kah? - Warta Global Bali

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

Kopi Pahit : Wartawan vs Warganet Terukur kah?

Thursday, 30 October 2025

Denpasar Bali, 31 Oktober 2025,WartaGlobal.Id
Wartawan Indonesia hidup di antara dua dunia: dunia ideal yang diatur oleh Undang-Undang, dan dunia nyata yang seringkali tak lagi tunduk pada aturan. 

Di atas kertas, mereka bekerja berlandaskan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers — sebuah kitab suci bagi kebebasan berpendapat yang lahir dari reformasi.

Bagi mereka yang bersiaran lewat radio dan televisi, ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dijadikan pedoman. Dalam dunia penyiaran, dua undang-undang itu berjalan beriring, seperti dua tangan yang menggenggam kebenaran dari arah berbeda.

Namun dunia jurnalisme bukan hanya perkara undang-undang. Ia juga menyangkut hati nurani, kode etik, dan norma tempat ia berpijak.

Wartawan yang sejati tahu: pena, mikrofon, dan kamera bukan sekadar alat kerja—mereka adalah perpanjangan dari nurani publik.

Dunia kini berubah. Batas antara wartawan dan warganet makin kabur. Tipis sekali. Karya jurnalistik dan unggahan media sosial  bersaing dalam kecepatan dan perhatian.

Lalu siapa sebenarnya wartawan itu? Bukan Dewan Pers yang melahirkannya, bukan pula organisasi wartawan seperti PWI atau AJI yang menobatkannya.

Seorang wartawan lahir ketika perusahaan pers mempercayakan kepada pena, mikrofon, dan tanggung jawab untuk menyiarkan fakta kepada publik. 

Dewan Pers hanya mengukur kompetensinya—muda, madya, atau utama. Organisasi wartawan hanya menyediakan rumah untuk bernaung dan bertukar pikiran.

Status wartawan sejati bukan pada kartu yang digantung di dada, melainkan pada integritas yang tertulis di nurani.

Ironisnya, dunia pers kita sedang diserang paradoks dari segala arah. Banyak yang mengaku wartawan hanya karena punya kamera dan akun media. Mengaku jurnalis hanya karena bisa menulis tajam di medsos.

Padahal karya jurnalistik memiliki makna yang jauh lebih dalam: ia adalah hasil kerja jurnalistik yang dimuat, disiarkan, atau ditayangkan melalui media jurnalistik, oleh pekerja jurnalistik, berdasarkan proses jurnalistik.

Proses itulah yang membedakan berita dengan bisik-bisik, fakta dengan opini, jurnalisme dengan gosip digital yang kini banyak berkembang dan berseliweran di layar handphone kita.

Dalam karya jurnalistik ada redaktur yang menyaring, ada kode etik yang menjaga, ada hak jawab dan hak tolak yang melindungi. Sementara di media sosial, siapa yang bertanggung jawab? Di sana, ketika masalah muncul, Undang-Undang ITE menunggu di ujung jari, bukan UU Pers yang melindungi di balik meja redaksi.

Paradoksnya lagi, masyarakat kini sering tak peduli dari mana informasi datang. Apakah dari media jurnalistik yang diverifikasi, atau dari akun anonim yang viral. Kecerdasan penerima berita itulah yang menjadi benteng terakhir peradaban informasi.

Karena itu, 5W+1H bukan sekadar rumus, melainkan pisau bedah akal sehat: siapa yang berbicara, apa yang terjadi, kapan peristiwa berlangsung, di mana tempatnya, mengapa itu penting, dan bagaimana kebenaran itu terjadi.

Di zaman ketika “trending” lebih cepat daripada “fakta”, ketika “klik” lebih berharga daripada “verifikasi”, wartawan sejati adalah mereka yang tetap berdiri di tengah badai digital, memegang pena dengan keberanian, dan menulis dengan tanggung jawab.

Mereka adalah penjaga antara kebebasan dan kehati-hatian, antara suara publik dan suara hati, antara dunia nyata dan dunia maya. Dan, di sanalah, jurnalisme Indonesia terus berdiri — di tengah dunia paradoks, di antara hukum, etika, dan nurani.

Wayan Suyadnya



KALI DIBACA