Konflik Tahta Keraton Solo Memanas, Kubu Gusti Purboyo Klaim Penobatan Hangabehi Melanggar Amanat PB XIII - Warta Global Bali

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

Konflik Tahta Keraton Solo Memanas, Kubu Gusti Purboyo Klaim Penobatan Hangabehi Melanggar Amanat PB XIII

Thursday, 13 November 2025


SOLO, WartaGlobalBali.Id – Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sekali lagi dilanda badai konflik suksesi yang memecah belah keluarga kerajaan. Suasana memanas pasca penobatan mendadak dan dramatis KGPH Hangabehi sebagai Pakubuwono XIV pada Kamis (13/11/2025), yang langsung ditolak keras oleh kubu lain yang mencalonkan KGPH Purboyo, putra bungsu almarhum PB XIII.

Narasi yang berkembang dari kubu Gusti Purboyo menyatakan bahwa dialah pemegang sah amanat (wasiat) dari Sinuhun Pakubuwono XIII untuk menduduki takhta, Peristiwa itu diperkuat dengan upacara Tingalandalem Jumenengan Dalem (peringatan kenaikan takhta) ke-18 sebagai Putra Mahkota penerus Tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat tanggal 27/2/2022, menerima gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendro Mataram, dan peristiwa ini menjadikan penobatan Hangabehi sebagai sebuah tindakan inkonstitusional di dalam tata aturan keraton.

Drama di Sasana Handrawina dan Aksi Walkout

Konflik pecah dalam sebuah pertemuan keluarga besar keraton di Sasana Handrawina yang awalnya diklaim hanya untuk membahas persiapan prosesi adat Jumenengan Dalem (penobatan) yang rencananya digelar pada Sabtu (15/11/2025). Pertemuan itu dihadiri oleh Maha Menteri KGPA Tedjowulan, Gusti Moeng dari Lembaga Dewan Adat (LDA), dan sejumlah sentana dalem (anggota keluarga).

Namun, menurut kesaksian GPH Suryo Wicaksono atau yang akrab disapa Gusti Ninok (putra PB XII), yang hadir dalam rapat, agenda tiba-tiba berubah drastis. Setelah sekitar 15 menit pembacaan surat resmi dari Kementerian Kebudayaan, KGPH Hangabehi secara mendadak dilantik sebagai Pangeran Patih dan langsung dinobatkan sebagai Pakubuwono XIV.

“Sekitar 15 menit kemudian sekaligus dilakukan penobatan PB XIV yang disaksikan oleh para sentono dan kerabat PB XII maupun para sesepuh keraton,” jelas Gusti Ninok.

Drama semakin memuncak ketika GKR Timoer Rumbay Kusuma Dewayani, salah satu putri almarhum PB XIII, beserta adik-adiknya menyerbu masuk ke ruangan. Mereka dengan lantang menolak penobatan yang dianggap sepihak dan tidak sah.

“Mereka mengatakan bahwa acara ini bertentangan dengan komunikasi internal mereka sebelumnya. Saat ini masih terjadi perdebatan antara Gusti Rumbay dan Gusti Moeng,” ujar Gusti Ninok, yang kemudian memilih melakukan walkout sebagai bentuk protes.

Klaim Kekuatan Hukum: Surat Kemenbud vs. Amanat Sinuhun

Dualisme klaim kewenangan menjadi akar persoalan. Di satu sisi, kubu Tedjowulan dan Hangabehi bersandar pada surat resmi Menteri Kebudayaan Fadli Zon bernomor 10596/MK.L/KB.10.03/2025 tertanggal 10 November 2025. Surat itu menegaskan bahwa segala urusan suksesi dan pengelolaan keraton pasca wafatnya PB XIII harus melalui rembuk bersama yang dipimpin Maha Menteri KGPA Tedjowulan, yang bertindak sebagai pelaksana sementara (ad interim).

“Setelah PB XIII wafat, segala urusan suksesi harus melalui rembuk bersama Maha Menteri KGPA Tedjowulan,” demikian bunyi surat yang menjadi dasar hukum pihak tersebut.

Namun, di sisi lain, kubu GKR Timoer dan Gusti Purboyo memiliki landasan klaim yang berbeda: amanat langsung dari Sinuhun Pakubuwono XIII yang menunjuk Gusti Purboyo sebagai penerus takhta. Klaim ini diperkuat dengan telah diedarkannya undangan resmi Jumenengan Dalem yang menobatkan Gusti Purboyo sebagai Pakubuwono XIV, yang disahkan oleh panitia resmi keraton versi mereka.

“Surat resmi mengenai pelaksanaan Hajad Dalem Jumengeng Dalem Nata Binayangkare S.I.S.K.S. Pakoe Boewono XIV yang beredar adalah benar dan sah,” tegas GKR Timoer Rumbay Kusuma Dewayani, mengacu pada penobatan Gusti Purboyo.

Sejarah Berulang: Perebutan Tahta yang Tak Kunjung Usai

Konflik ini merupakan episode terbaru dari sejarah panjang “Perang Takhta” Keraton Surakarta. Sejarah nyaris identik terulang pasca wafatnya PB XII pada 2004, yang memecah istana menjadi dua kubu yang sama: kubu Hangabehi (yang kala itu akhirnya dinobatkan sebagai PB XIII) melawan kubu Tedjowulan.

Konflik masa lalu itu sempat menemui titik terang melalui SK Menteri Dalam Negeri tahun 2017 yang mengakui kedaulatan PB XIII sebagai raja sah dan menegaskan posisi Tedjowulan sebagai Maha Menteri. Namun, wafatnya PB XIII pada 2 November 2025 lalu kembali membuka luka lama, memicu perebutan takhta antara putra-putra almarhum (Hangabehi vs. Purboyo) yang didukung oleh kubu politik internal keraton yang saling bertolak belakang. 

Semua berawal dari munculnya Lembaga Dewan Adat (LDA) sebagai salah satu pihak yang berseteru dalam konflik internal keraton, terutama sejak awal tahun 2000-an dan menjadi sangat terlihat setelah wafatnya PB XII pada tahun 2004, ketika konflik suksesi memuncak. Terlebih wewenangnya melebihi Raja dengan pemberian gelar kebangsawanan (kekancingan) secara ugal-ugalan diluar sepengetahuan Raja, acara Sekaten diperebutkan dan sebagainya. Semua untuk kepentingan LDA dan dana yang masuk benarkah untuk kepentingan Budaya? 
Menjadi pertanyaan besar bagi pemerhati Budaya Jawa saat ini, konflik ini bermuara dari satu sumber primernya dan publik akan melihat fakta yang ada sampai hari ini.

Ketua LDA Gusti Moeng, yang hadir dalam penobatan Hangabehi, sebelumnya juga telah menyerukan pentingnya konsensus. “Penobatan raja baru sebaiknya dilakukan setelah ada kesepakatan bersama, demi menjaga marwah dan keutuhan Keraton,” ujarnya. Namun, langkah sepihak yang terjadi justru memperlebar jurang perpecahan.

Dengan dua kubu yang sama-sama memiliki klaim pendukung dan dasar hukumnya masing-masing—satu berdasarkan surat keputusan pemerintah, dan satu lagi berdasarkan amanat raja yang meninggal—jalan buntu di Keraton Surakarta diperkirakan akan masih berlanjut. Masyarakat Solo dan pecinta budaya Jawa kini menanti, apakah akan ada upaya mediasi atau konflik ini akan berujung pada dualisme kelembagaan yang permanen. (MCB)

KALI DIBACA