
Foto: Putra Mahkota, Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, dengan suara lantang mengucapkan sumpah suci di depan pusara sang ayahanda didampingi Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbaikusuma Dewayani (Kakak tertua)
SURAKARTA, WartaGlobalBali.Id – Sejarah mencatat momen bersejarah yang langka dan penuh emosi di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pada hari Rebo Legi, 14 Jumadilawal tahun Dal 1959 atau bertepatan dengan 5 November 2025, takhta kerajaan resmi berpindah dalam suasana duka yang mendalam. KGPAA Hamengkunegoro dinobatkan sebagai Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIV, tepat di hadapan jenazah sang ayahanda, Sampéyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono XIII yang baru saja mangkat.
Prosesi sakral 'Hanglintir Kaprabon' ini mengguncang jiwa semua yang hadir. Di pelataran Sasana Sewaka yang dipadati keluarga keraton, abdi dalem, sentana, dan masyarakat, Putra Mahkota, Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, dengan suara lantang mengucapkan sumpah suci di depan pusara sang ayahanda.
“Mundhi dhawuh Sabda Dalem Sampéyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono Tigawelas lumantar Kintaka Rukma Kekeraning Sri Nata Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Ingsun Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Naréndra Mataram, ing dina iki... hanglintir kaprabon Dalem minangka SRI SUSUHUNAN Karaton Surakarta Hadiningrat, kanthi sesebutan SAMPÉYANDALEM INGKANG SINUHUN KANGJENG SUSUHUNAN PAKOE BOEWONO PATBELAS."
Tradisi Kuno yang Kembali Hidup
Prosesi unik yang mungkin dianggap tidak lazim oleh masyarakat modern ini, justru merupakan warisan leluhur yang dijaga turun-temurun. Seperti yang ditegaskan oleh kakak tertua sang raja baru, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbaikusuma Dewayani.
"Apa yang dilakukan Adipati Anom adalah sesuai dengan adat Kasunanan. Dulu juga pernah terjadi di era para leluhur raja sebelumnya," ujar GKR Timoer dengan suara bergetar namun penuh wibawa.
"Sumpah di hadapan jenazah ayahanda adalah simbol kesetiaan, bukan pelanggaran adat. Justru inilah cara kita menjaga kontinuitas kepemimpinan di Karaton," tegasnya.

Foto : Kanjeng Pangeran Haryo Mansur Pasaribu Karyonegoro bersama Kanjeng Mas Ayu Muji Eryanti Chandraningtyas
Dukungan dari Seluruh Penjuru Nusantara
Momen sakral ini tidak hanya menyedot perhatian masyarakat Solo, tetapi juga kerabat keraton dari berbagai daerah. Turut hadir menyaksikan prosesi bersejarah tersebut, perwakilan kerabat keraton dari Bali:
1. Kanjeng Pangeran Haryo Mansur Pasaribu Karyonegoro
2. Kanjeng Mas Ayu Muji Eryanti Chandraningtyas
Keduanya turut hanyut dalam keharuan menyaksikan peristiwa yang menggetarkan hati bagi kerabat keraton. Kehadiran mereka membuktikan bahwa melestarikan budaya Jawa merupakan tanggung jawab bersama bagi seluruh trah Mataram dan kerabat keraton secara keseluruhan, tanpa terkotak-kotak oleh batas geografis.
Haru dan Harapan di Balik Duka
Detik-detik usai pengucapan sumpah, suasana haru tak terbendung. Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIV yang baru saja dinobatkan, secara hangat menyalami dan memeluk saudara-saudaranya. Tangis kebanggaan dan keharuan mewarnai pelataran keraton, membuktikan ikatan keluarga yang erat di balik protokol keraton yang ketat.
Bagi banyak pengamat budaya dan masyarakat Solo, momen ini bukan sekadar pergantian raja. Jumenengnya Pakoe Boewono XIV dinilai sebagai babak baru bagi pemulihan marwah Karaton yang sempat diguncang berbagai polemik di masa lalu.
Di pundak raja muda ini, harapan besar diletakkan. Kehadirannya diyakini dapat menghidupkan kembali tradisi, membuka ruang dialog budaya yang lebih luas, dan memperkuat posisi Karaton Surakarta sebagai pusat spiritual dan kebudayaan Jawa.
Warisan 280 Tahun Terus Berdenyut
Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang berdiri kokoh sejak 1745, kini telah memasuki masa kepemimpinan raja ke-14. Dari generasi ke generasi, tradisi 'Hanglintir Kaprabon' dan sumpah jabatan menjadi simbol nyata bahwa Karaton selalu memiliki penjaga kelangsungan budaya, meski arus zaman tak henti berubah.
Kini, di tangan Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIV, denyut nadi warisan luhur 280 tahun itu terus berdetak. Dengan dukungan seluruh keluarga keraton dari berbagai penjuru, termasuk Bali, masyarakat Surakarta dan pecinta budaya Jawa menaruh asa besar agar di era kepemimpinannya, adat tetap tegak, warisan leluhur lestari, dan Karaton terus menjadi mercusuar peradaban yang menuntun nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. (MCB)
KALI DIBACA

