"Sanghyang Siksa Kandang Karesian: Menggali Kembali Kebijaksanaan Nusantara untuk Melahirkan Manusia Visioner" - Warta Global Bali

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

"Sanghyang Siksa Kandang Karesian: Menggali Kembali Kebijaksanaan Nusantara untuk Melahirkan Manusia Visioner"

Saturday, 8 November 2025


Denpasar, WartaGlobalBali.Id – Dalam upaya menggali kembali khazanah kebijaksanaan Nusantara untuk menjawab tantangan zaman modern, diselenggarakan Apresiasi Buku "Siksa Kandang Karesian" dengan tema dialog inspiratif "Menjadi Manusia Visioner". Acara yang digelar pada Sabtu, 8 November 2025 pukul 09.00 – 11.00 WITA di Gedung BPMP, Jl. Letda Tantular No. 14, Renon, Denpasar, hal ini membedah makna mendalam tentang visi, identitas budaya, dan kesadaran.


Menyambut Kembali Suara Leluhur


Acara yang dibuka dengan sambutan hangat ini, langsung menegaskan tujuannya. Ini bukan sekadar apresiasi buku, melainkan sebuah upaya untuk menyambut kembali kebijaksanaan Nusantara dan suara para leluhur yang mencari kesadaran manusia. Buku "Sanghyang Siksa Kandang Karesian" yang ditulis oleh Guruji Anand Krishna diperkenalkan sebagai sebuah karya yang didedikasikan untuk kesadaran dan kebijaksanaan, sekaligus upaya untuk menggali dan menyembuhkan jiwa bangsa secara sempurna.


Konsep kebijaksanaan sejati ditegaskan oleh Bapak Prashant Gangtani, Putra dari Guruji Anand Krishna, yang menyatakan bahwa kebijaksanaan sejati tidak pernah usang, melainkan hanya menumbuhkan hati yang siap.


Redefinisi "Resi" sebagai Manusia Visioner Modern



Inti dari dialog ini adalah penafsiran ulang yang revolusioner terhadap kata "Resi". Dalam kitab ini, "Resi" tidak lagi dimaknai sebagai pertapa yang mengasingkan diri, melainkan sebagai seorang manusia visioner yang melihat jauh ke depan, namun tetap berkarya di dunia dengan penuh kasih dan kesadaran.


Guruji Anand Krishna mengingatkan bahwa setiap profesi—guru, dokter, pebisnis, pemimpin, seniman—memerlukan jiwa yang bersih untuk dapat melihat fakta menuju kebenaran sejati. Pesan ajaran Sunda yang diangkat menekankan bahwa kebijaksanaan bukanlah milik masa lalu, melainkan cahaya alami yang menuntun kita menghadapi masa kini.


Foto : (kiri) Moderator Dian Martin, I Gusti Putu Sudarta, Ida Pandita Agung Putra Nata Siliwangi Manuaba, Made Edy Suparyasa.

Perspektif Para Narasumber: Dari Teks Kuno ke Tantangan Modern


Perbincangan dipandu oleh Moderator Dian Martin, S.T., Ketua Asosiasi Artificial Intelligence Indonesia dengan memperkenalkan masing-masing narasumber,


1. Dr. I Gusti Putu Sudarta, SSP., M.Sn. (Dalang & Dosen ISI Denpasar)

Dr. Sudarta menyampaikan bahwa buku ini dipersiapkan untuk orang-orang yang mencari kebenaran, khususnya mereka yang telah memiliki dasar pemahaman. "Meskipun demikian, buku ini sebenarnya untuk umum karena berisi dasar-dasar kehidupan yang fundamental," ujarnya. Hal ini menegaskan bahwa nilai-nilai luhur dalam naskah kuno ini relevan bagi semua kalangan.


2. Ida Pandita Agung Putra Nata Siliwangi Manuaba (Sulinggih Sunda, Sekretaris Sabha Pandita PHDI)

Ida Pandita menyoroti konsep Trikaya Parisudha (kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan) yang harus diterapkan dalam semua profesi. "Seorang dokter, misalnya, tidak boleh hanya berorientasi pada uang, tetapi harus memiliki pikiran, perkataan, dan perbuatan yang suci," tegasnya.


Beliau menyampaikan keprihatinan yang mendalam bahwa degradasi moral sudah terjadi sejak 500 tahun lalu dan kini mengancam identitas bangsa Indonesia. "Identitas bangsa adalah budaya. Hilangnya budaya berarti hilangnya identitas bangsa," ujarnya, mengkritisi kecenderungan masyarakat yang lebih bangga dengan budaya asing seperti K-pop.


Melalui konsep Rama, Resi, Ratu, beliau menjelaskan:

*Rama: Wujud Tuhan dalam diri manusia, tugas kita adalah mendengarkan suara Rama dalam diri.

*Resi: Penyambung antara Rama dan Ratu, harus suci tanpa pamrih.

*Ratu: Pemerintah.


Seorang resi sejati, menurutnya, harus "mati dalam kehidupan dan hidup dalam kematian," artinya bebas dari motivasi transaksional dan dipelihara oleh alam semesta.


3. Made Edy Suparyasa, S.T. (Perencana Kota)

Made Edy mengapresiasi kemampuan Guruji Anand Krishna dalam mengumpulkan dan mensintesis ratusan buku dari berbagai tradisi dan agama. "Karya Guruji berhasil mempertemukan orang-orang dari beragam latar belakang," ujarnya.


Ia menekankan relevansi naskah berusia 500 tahun tersebut di masa kini, terutama dalam kondisi moralitas yang dianggap memburuk. "Buku ini bukan hanya untuk orang Sunda, tetapi untuk 'Sunda untuk semua' dalam konteks peradaban Sunda Klasik," jelasnya. Menjadi seorang resi, baginya, berarti menjadi seorang visioner yang mampu mengenali akar budaya untuk memiliki jati diri yang sejati.


Foto : (kiri) Ketua Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia Provinsi Bali Maichel Benedictus (Rm Benny) bersama Ida Pandita Agung Putra Nata Siliwangi Manuaba.

Kesimpulan: Menjawab Zaman dengan Kearifan


Dialog "Menjadi Manusia Visioner" ini menutup dengan sebuah penegasan: kebijaksanaan Nusantara bukanlah relik masa lalu, melainkan panduan hidup yang dinamis untuk membangun masa depan. Konsep "Resi" sebagai manusia visioner yang mengabdi dengan kesadaran penuh dan jiwa yang bersih dalam profesinya masing-masing, menjadi jawaban atas krisis identitas dan moralitas bangsa.


Acara ini bukanlah titik akhir, melainkan sebuah pembuka jalan bagi lahirnya lebih banyak lagi manusia visioner yang berani menggali akar budayanya sendiri untuk melangkah percaya diri menghadapi dunia global. (MCB)


KALI DIBACA