PWDPI Bali Sorot Tragedi Keracunan Massal di Bandung Barat: Niat Mulia Makanan Bergizi Gratis Berujung Petaka - Warta Global Bali

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

PWDPI Bali Sorot Tragedi Keracunan Massal di Bandung Barat: Niat Mulia Makanan Bergizi Gratis Berujung Petaka

Thursday, 25 September 2025

Foto : (atas) data siswa yang terdampak keracunan dari berbagai sumber, (bawah) evakuasi para korban keracunan siswa siswi di Bandung Barat dalam perawatan di Rumah Sakit setempat.

BANDUNG BARAT, WartaGlobalBali.Id – Sebuah program pemerintah yang bertujuan mulia, Makanan Bergizi Gratis (MBG), berubah menjadi bencana yang menyayat hati. Dalam tragedi yang memilukan, sebanyak 842 anak sekolah di Kabupaten Bandung Barat harus menjalani perawatan akibat keracunan massal setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut.

Insiden yang terjadi dalam tiga hari terakhir ini tidak hanya menyisakan duka bagi korban dan keluarga, tetapi juga memicu gelombang kecemasan dan pertanyaan kritis tentang efektivitas dan integritas program bantuan sosial yang menyentuh langsung hajat hidup orang banyak, khususnya anak-anak.

Dari Gizi menjadi Racun: Sebuah Paradoks Pahit

Program MBG yang digaungkan untuk memastikan asupan nutrisi anak sekolah, sehingga tubuh mereka kuat, otak cerdas, dan jiwa riang, justru berbalik menjadi ancaman. Alih-alih mendapatkan vitamin, protein, dan karbohidrat sehat, tubuh mungil para siswa itu malah menerima racun yang meruntuhkan kesehatan.

“Ini adalah paradoks yang sangat getir. Seharusnya ini adalah jalan menuju masa depan anak-anak yang sehat, tetapi justru menjadi jalan terjal penuh derita. Ironi ini menampar kesadaran kita semua,” Ujar Plt Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Provinsi Bali Maichel Benedictus lebih akrab disapa Romo Benny, dalam analisa yang menyoroti tragedi ini.

Sampai berita ini diturunkan, penyebab pasti dan titik masuknya racun masih dalam penyelidikan intensif oleh dinas kesehatan dan pihak kepolisian. Diduga, racun tersebut menyusup melalui salah satu atau beberapa komponen makanan yang terdiri dari nasi, lauk, sayur, atau buah.

Rantai Pengawasan yang Dipertanyakan

Tragedi ini memunculkan sederet tanda tanya besar tentang sistem pengawasan yang diterapkan. Pertanyaan kritis berhamburan: Apakah racun berasal dari dapur penyedia yang tidak memenuhi standar kebersihan? Dari bahan baku yang kualitasnya tidak terkontrol? Dari kelalaian petugas di lapangan? Atau, yang paling dikhawatirkan, dari keserakahan pihak ketiga (vendor) yang memangkas biaya produksi untuk meraup keuntungan lebih besar?

Yang juga menjadi sorotan adalah prosedur standar operasional (SOP). “Tidakkah ada prosedur yang mewajibkan uji kualitas, uji rasa, atau setidaknya ada petugas yang mencicipi makanan sebelum dibagikan ke ratusan anak? Jika ada pengawasan berlapis, mengapa bisa lolos? Jika tidak ada, lalu siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian ini?” Pungkas Romo Benny lebih lanjut.

Gelombang Kecemasan Nasional dan Erosi Kepercayaan

Dampak tragedi ini tidak berhenti di garis batas Bandung Barat. Di era di mana informasi menyebar secepat kilat melalui media sosial, kabar keracunan massal ini telah memicu gelombang kecemasan yang menjalar ke seluruh penjuru negeri, hingga ke Bali.

Orang tua di berbagai daerah mulai diliputi kecemasan dan keraguan. “Apakah anakku aman di sekolah? Apakah makanan yang disediakan program sekolah benar-benar sehat?” Rasa percaya yang seharusnya menjadi fondasi utama setiap program publik, kini terkikis oleh bayang-bayang ketakutan kolektif.

Solusi Sederhana yang (Mungkin) Terabaikan

Menyikapi peristiwa ini, Romo Benny mengajukan sebuah solusi alternatif yang dinilainya lebih sederhana, sehat, dan adil. Daripada menyalurkan dana MBG—yang disebutkan sekitar Rp 10.000 per anak—melalui vendor yang rumit, mengapa tidak diberikan secara langsung kepada siswa dalam bentuk tunai?

“Hari ini diberikan Rp 10.000, besok guru atau ahli gizi menilai bekal yang dibawa siswa apakah sudah sesuai panduan gizi: nasi, telur, sayur, buah,” paparnya.

Model seperti ini, menurutnya, memiliki beberapa keunggulan:
1.Dana Utuh Sampai ke Tujuan: Uang langsung sampai ke tangan orang tua/anak tanpa potongan atau permainan dari pihak ketiga.
2.Pendidikan Gizi Keluarga: Orang tua terlibat langsung dan teredukasi untuk menyusun makanan sehat, menjadikan gizi sebagai budaya rumah tangga, bukan sekadar program sekolah.
3.Pengawasan yang Sederhana: Guru hanya perlu memeriksa kesesuaian bekal, tanpa perlu audit birokrasi yang rumit.
4.Minim Risiko Keracunan Massal: Masalah keracunan, jika terjadi, akan bersifat sangat lokal pada satu keluarga, bukan menimpa ratusan siswa sekaligus.
5.Sediakan Kantin sekolah yang sesuai dengan SOP BGN, terkontrol oleh banyak pihak baik guru maupun orang tua dan tentunya FRESH disantap bersama oleh para siswa.

Pertanyaan Penutup yang Menggelitik

Solusi yang terkesan sederhana itu memunculkan pertanyaan mendasar: Mengapa jalur yang berliku, melibatkan banyak pihak, dan berbiaya tinggi selalu dipilih? “Mengapa negara selalu jatuh cinta pada jalur yang memberi ruang bagi pihak ketiga, birokrasi gemuk, dan potensi korupsi?” tanya Romo Benny?

Ia menduga, jawabannya mungkin terletak pada “kelimpahan kepentingan”. Bukan karena ketidaktahuan pada cara yang sederhana, melainkan karena ada pihak-pihak yang diuntungkan dari kerumitan tersebut. “Jika bisa dirumitkan, mengapa harus disederhanakan?” ujanya berretorika.

Tragedi Bandung Barat sekali lagi mengingatkan, bahwa di balik niat baik yang mulia, selalu ada risiko ketika eksekusi lemah dan kepentingan lain menyusup. Anak-anak, yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama, kembali menjadi korban yang paling rapuh. Harapannya, tragedi pahit ini menjadi pelajaran berharga agar bangsa ini tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Karena tidak ada ironi yang lebih menyedihkan daripada sebuah negara yang ingin menyehatkan generasi mudanya, tetapi justru melemahkan mereka dengan kelalaiannya sendiri. (MCB)

KALI DIBACA