Nasib Buruh Di Tengah Gempuran Omnibus Law Antara Harapan dan Ketidakpastian - WARTA GLOBAL BALI

Mobile Menu

Top Ads

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran Jurnalis

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

Nasib Buruh Di Tengah Gempuran Omnibus Law Antara Harapan dan Ketidakpastian

Thursday, 1 May 2025



Bali, Warta Global. Id
Undang-undang Cipta Kerja, yang juga dikenal sebagai Omnibus Law, adalah undang-undang yang mengubah dan menggabungkan beberapa undang-undang yang ada, termasuk Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tujuan utamanya adalah alah menyederhanakan regulasi, meningkatkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja menjadi topik hangat sejak disahkan pada tahun 2020. Pemerintah mengklaim regulasi ini akan mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja. Namun, bagi jutaan buruh di Indonesia, undang-undang ini justru menjadi simbol ketidakpastian masa depan.

Sejak disahkan pertama kali pada tahun 2020, Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law terus menjadi sorotan. Digadang-gadang sebagai solusi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, Omnibus Law justru menuai pro dan kontra yang tajam, terutama dari kalangan buruh. Di satu sisi, pemerintah menjanjikan kemudahan investasi dan penyerapan tenaga kerja. Namun di sisi lain, buruh menghadapi ancaman atas hilangnya berbagai perlindungan yang selama ini dijamin oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelumnya.

Harapan yang Dijanjikan

Pemerintah dan pendukung Omnibus Law menyatakan bahwa regulasi ini menyederhanakan. birokrasi dan mempercepat proses perizinan usaha, yang pada gilirannya akan menarik investor dan membuka lapangan kerja baru. Dalam konteks ini, buruh diharapkan mendapat lebih banyak peluang kerja dengan upah yang layak serta jaminan sosial yang lebih baik.

Selain itu, fleksibilitas kerja yang ditawarkan diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan industri global yang semakin dinamis, terutama pasca-pandemi COVID-19. Pemerintah juga menekankan bahwa perlindungan terhadap buruh tetap menjadi perhatian melalui pengaturan dalam peraturan pelaksana UU Cipta Kerja.

Janji di Atas Kertas

Pemerintah menyebut Omnibus Law sebagai strategi reformasi struktural untuk mendorong iklim usaha yang kompetitif. Penyederhanaan aturan ketenagakerjaan diklaim akan memberikan fleksibilitas bagi pelaku usaha, sehingga dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja. Sektor industri padat karya seperti tekstil, manufaktur, dan elektronik diharapkan tumbuh pesat dan membuka lapangan kerja baru. Harapan ini tentu menarik bagi jutaan pencari kerja yang kesulitan mengakses pekerjaan formal.

Omnibus Law juga memperkenalkan sistem kerja yang lebih fleksibel, seperti pengaturan jam kerja paruh waktu dan perluasan outsourcing. Pemerintah berargumen bahwa fleksibilitas ini adalah bentuk adaptasi terhadap dinamika ekonomi global, di mana sistem kerja tidak lagi. mengandalkan skema 9-to-5 semata

Realita di Lapangan: Ketidakpastian Menghantui

Sayangnya, di sisi lain, banyak buruh merasakan efek sebaliknya. Revisi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan mengundang kekhawatiran akan berkurangnya hak-hak buruh. Misalnya, penghapusan atau penyesuaian terkait pesangon, kontrak kerja yang lebih fleksibel (outsourcing yang diperluas), dan sistem kerja berbasis jam (work hours flexibility) dianggap menguntungkan pengusaha tetapi melemahkan posisi buruh

Kekhawatiran ini diperparah dengan minimnya keterlibatan serikat buruh dalam proses perumusan kebijakan. Buruh merasa suaranya tidak didengar, dan hasilnya adalah regulasi yang lebih berpihak pada pemodal ketimbang pekerja. Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi sejak 2020 menjadi cerminan keresahan kolektif atas masa depan pekerjaan yang kian tiada. meneritu.

Kenyataan yang Dihadapi Buruh

Namun di balik narasi optimisme tersebut, buruh menyaksikan realitas yang berbeda. Banyak kalangan pekerja justru merasa bahwa regulasi ini membuka celah pelemahan terhadap perlindungan kerja. Salah satu isu krusial adalah pengurangan nilai pesangon bagi pekerja yang terkena PHK. Jika sebelumnya pekerja berhak atas 32 kali gaji sebagai pesangon maksimal, kini hanya separuh dari itu yang dijamin perusahaan, sisanya bergantung pada kontribusi dari pemerintah melalui program Jk JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) yang pelaksanaannya sendiri masih belum maksimal.

Selain itu, penghapusan pembatasan sektor outsourcing dan kontrak jangka pendek membuat status kerja semakin tidak pasti. Banyak buruh, terutama di sektor industri dan logistik, kini bekerja dalam sistem kontrak yang diperpanjang terus-menerus tanpa kejelasan status. permanen. Hal ini berdampak pada kestabilan penghasilan, akses terhadap kredit perbankan, dan bahkan jaminan sosial.

Menuju Keseimbangan: Perlu Dialog Sosial yang Seimbang

Untuk menjembatani kesenjangan antara harapan dan kenyataan, diperlukan pendekatan yang lebih adil dan inklusif. Pernerintah perlu membuka ruang dialog yang konstruktif dengan serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil agar peraturan pelaksana Omnibus Law mencerminkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial.

Di sisi lain, buruh juga perlu memperkuat posisi tawar melalui pendidikan hukum ketenagakerjaan dan konsolidasi gerakan. Kesadaran akan hak dan tanggung jawab menjadi kunci dalam menghadapi perubahan regulasi yang cepat dan kompleks. 

Gambar

Kekhawatiran ini diperparah dengan minimnya keterlibatan serikat buruh dalam proses perumusan kebijakan. Buruh merasa suaranya tidak didengar, dan hasilnya adalah regulasi yang lebih berpihak pada pemodal ketimbang pekerja. Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi sejak 2020 menjadi cerminan keresahan kolektif atas masa depan pekerjaan yang kian tiada menentu.

Kenyataan yang Dihadapi Buruh

Namun di balik narasi optimisme tersebut, buruh menyaksikan realitas yang berbeda. Banyak kalangan pekerja justru merasa bahwa regulasi ini membuka celah pelemahan terhadap perlindungan kerja. Salah satu isu krusial adalah pengurangan nilai pesangon bagi pekerja yang terkena PHK. Jika sebelumnya pekerja berhak atas 32 kali gaji sebagai pesangon maksimal, kini hanya separuh dari itu yang dijamin perusahaan, sisanya bergantung pada kontribusi dari pemerintah melalui program JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) yang pelaksanaannya sendiri masih belum maksimal.

Selain itu, penghapusan pembatasan sektor outsourcing dan kontrak jangka pendek membuat status kerja semakin tidak pasti. Banyak buruh, terutama di sektor industri dan logistik, kini bekerja dalam sistem kontrak yang diperpanjang terus-menerus tanpa kejelasan status permanen. Hal ini berdampak pada kestabilan penghasilan, akses terhadap kredit perbankan, dan bahkan jaminan sosial.

Menuju Keseimbangan: Perlu Dialog Sosial yang Seimbang

Untuk menjembatani kesenjangan antara harapan dan kenyataan, diperlukan pendekatan yang lebih adil dan inklusif. Pemerintah perlu membuka ruang dialog ig dialog yang konstruktif dengan serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil agar peraturan pelaksana Omnibus Law mencerminkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial.

Di sisi lain, buruh juga perlu memperkuat posisi tawar melalui pendidikan hukum. ketenagakerjaan dan konsolidasi gerakan. Kesadaran akan hak dan tanggung jawab menjadi kunci dalam menghadapi perubahan regulasi yang cepat dan kompleks.

Studi Kasus: PHK Massal di Industri Tekstil

Salah satu contoh konkret yang mencerminkan dampak buruk regulasi ini adalah gelombang PHK di industri tekstil selama 2023-2024. Berdasarkan data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), lebih dari 80.000 buruh terkena PHK sejak akhir 2023 akibat kombinasi lemahnya permintaan ekspor dan fleksibilitas ketenagakerjaan pasca-Omnibus Law. Sejumlah perusahaan besar seperti PT Kahoindah Citragarment dan PT Pan Brothers Tbk melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal dengan kompensasi yang dikritik minim oleh serikat pekerja.

Serikat buruh menyebut bahwa Omnibus Law membuat perusahaan semakin mudah mem-PHK tanpa harus menanggung biaya pesangon besar. Ini menjadi preseden buruk bagi stabilitas pekerjaan, di mana buruh menjadi pihak yang paling rentan dalam kondisi krisis ekonomi.

Ketimpangan Kekuatan Tawar dan Minimnya Partisipasi

Kekecewaan buruh juga diperparah oleh proses legislasi Omnibus Law yang dinilai minim partisipasi. Serikat pekerja menyoroti bahwa perumusan dan revisi undang-undang ini berlangsung secara tertutup dan terkesan terburu-buru. Mahkamah Konstitusi sempat menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada 2021, tetapi pemerintah kembali merevisi dan mengesahkan versi barunya pada Maret 2023 tanpa perubahan substansial yang berpihak pada buruh.

Situasi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam proses dialog sosial antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Serikat buruh sulit memperjuangkan hak-haknya dalam sistem yang lebih berpihak pada efisiensi ekonomi ketimbang keadilan sosial.

Mencari Titik Temu: Reformasi Bukan untuk Melernahkan Buruh

Omnibus Law pada prinsipnya bisa menjadi terobosan positif jika dirancang dengan mengedepankan perlindungan buruh yang seimbang. Sayangnya, orientasi yang terlalu pro investor membuat aspek keadilan sosial dan kesejahteraan pekerja terpinggirkan. Padahal, produktivitas tenaga kerja tidak hanya ditentukan oleh fleksibilitas, tapi juga oleh kepastian kerja, upah layak, dan jaminan sosial yang memadai.

Solusi yang ditawarkan oleh banyak akademisi dan aktivis adalah membangun ulang kepercayaan antara buruh dan pemerintah melalui dialog sosial yang transparan. Buruh juga didorong untuk memperkuat solidaritas melalui konsolidasi serikat dan literasi hukum agar lebih siap menghadapi era kerja fleksibel. Pelatihan keterampilan baru, peningkatan pendidikan vokasi, dan pengawasan ketat terhadap praktik outsourcing harus menjadi bagian dari kebijakan ketenagakerjaan ke depan.



Omnibus Law bagaikan pedang bermata dua bagi buruh Indonesia. Di satu sisi, ia membawa harapan akan terbukanya lapangan kerja baru, namun di sisi lain menghadirkan ketidakpastian terhadap jaminan kerja dan kesejahteraan. Masa depan buruh Indonesia akan sangat ditentukan oleh sejauh mana negara mampu menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan hak-hak pekerja. Hanya dengan kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat, harapan buruh bisa menjadi kenyataan, bukan sekadar janji kosong. Nasib buruh di era Omnibus Law menggambarkan tarik menarik antara ambisi pertumbuhan ekonomi dan perlindungan hak-hak pekerja. Jika dibiarkan tanpa koreksi,

Sumber
Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih., S.IP.,M.AP (Akademisi Universitas Warmadewa)

KALI DIBACA